Terpenting Bagi KPK, Setya Novanto Fit to be Questioned
Utama

Terpenting Bagi KPK, Setya Novanto Fit to be Questioned

Dalam hukum, salah satu hal mendasar yang menunjukkan seseorang dapat menjalani pemeriksaan adalah apabila seseorang itu dalam kondisi fit to be questioned.

Oleh:
Novrieza Rahmi/ANT
Bacaan 2 Menit
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto usai menjalani pemeriksaan KPK, Selasa (13/12). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan paket penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) tahun anggaran 2011 dan 2012.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto usai menjalani pemeriksaan KPK, Selasa (13/12). Setya Novanto diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengadaan paket penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) tahun anggaran 2011 dan 2012.
Ketua DPR Setya Novanto disebut telah menjalani pemeriksaan jantung dan operasi pemasangan ring di Rumah Sakit (RS) Premier Jatinegara, Jakarta Timur. Tim penyidik dan dokter Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mendatangi RS Premier untuk mengecek kondisi Setya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pengecekan dilakukan pada Senin siang (18/9). Ketika itu, dokter KPK berkoordinasi dengan dokter operator di RS Premier dan tim penyidik meminta beberapa informasi dan keterangan terkait kondisi medis Setya.

Dari informasi yang diperoleh KPK, memang telah dilakukan pemeriksaan jantung dan pemasangan ring terhadap Setya. KPK juga mendapat informasi dari dokter RS Premier bahwa pemeriksaan jantung dan pemasangan ring tersebut berjalan baik.

Febri menjelaskan, sewaktu tim penyidik dan dokter KPK mendatangi RS Premier, Setya terlihat tengah beristirahat di suatu ruangan tanpa menggunakan infus dan oksigen. Hal itu, menurut dokter yang menangani Setya, untuk melihat efek pasca tindakan operasi.

Terlepas dari proses pemulihan Setya, Febri mengungkapkan, ada satu informasi yang disampaikan dokter RS Premier kepada tim penyidik KPK. "Jadi kami bertanya pada dokter spesialis jantung yang menangani SN (Setya Novanto), kemudian dijawab bahwa pemeriksaan diprediksikan bisa dilakukan. Namun, harus melihat perkembangan kondisi sampai Rabu," katanya di KPK, Selasa (19/9).

Tentu, KPK akan melihat terlebih dahulu perkembangan kondisi Setya. Sebab, setiap melakukan pemeriksaan, baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa, salah satu hal terpenting yang perlu dipastikan KPK adalah apakah saksi, tersangka, atau terdakwa itu dapat diperiksa atau tidak.

"Yang disebut dalam istilah medis dalam kerja sama KPK dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) adalah fit to be questioned. Ini yang menjadi poin yang saya kira mungkin perlu kita pelajari terlebih dahulu," ujar Febri.

(Baca Juga: Dianggap Tak Mewakili Lembaga, Fadli: Hanya Meneruskan Aspirasi Setnov)

Dengan demikian, sedianya Rabu (20/9), tim KPK akan kembali melihat perkembangan kondisi kesehatan Setya di RS Premier. Hal itu perlu dilakukan KPK untuk menentukan apakah Setya dapat menjalani pemeriksaan atau tidak.

"Jadi, yang penting dan paling mendasar dalam kondisi seseorang, yang dilihat secara hukum adalah apakah yang bersangkutan fit to be questioned atau tidak. Itu yang jadi poin krusial," imbuh Febri.

Untuk diketahui, dalam setiap pemeriksaan, pertanyaan pertama yang diajukan penyidik adalah "Apakah anda dalam kondisi sehat jasmani dan rohani?". Bila seseorang sedang tidak dalam kondisi sehat, tentu pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. Atas dasar inilah, kondisi yang fit to be questioned  sangat penting bagi penyidik ketika hendak memeriksa seseorang.

KPK bukan sekali dua kali menghadapi saksi maupun tersangka yang tidak memenuhi panggilan dengan alasan sakit. Bahkan, KPK pernah memiliki pengalaman tidak "mengenakan". Kalau masih ingat, kejadian Nunun Nurbaeti yang dahulu merupakan tersangka suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004.

Waktu itu, Nunun dipanggil menjadi saksi dalam sidang kasus suap cek pelawat. Sesuai surat keterangan dokter yang diterima penuntut umum KPK, ketidakhadiran Nunun dikarenakan “sakit lupat berat” atau vertigo migran. Nunun yang akhirnya juga menjadi terdakwa dalam kasus cek pelawat sempat pergi ke Singapura dengan alasan menjalani perawatan.

Namun, KPK mendapati fakta berbeda. Nunun hanya pasien rawat jalan. Dokter yang menangani pun bukan dokter spesialis penyakit seperti yang dinyatakan dokter pribadi Nunun di Indonesia. (Baca Juga: Hakim Izinkan Nunun Berkacamata Hitam)

Hingga ditetapkan KPK sebagai tersangka pada Februari 2011, Nunun tak kunjung kembali ke tanah air. Malahan, ia sempat berpindah tempat ke Thailand. Berkat kerja sama KPK dengan Mabes Polri, Interpol, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Thailand, Kedutaan Besar RI untuk Thailand, Nunun berhasil dipulangkan ke Indonesia pada Desember 2011.

Kejadian ini nampaknya menjadi pelajaran berharga bagi KPK. Pada Juni 2012, KPK menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait penilaian medis dan second opinion terhadap saksi, tersangka, terdakwa yang perkaranya ditangani KPK.

Kala itu, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan, penandatangan MoU untuk menghindari atau mengantisipasi penyimpangan dalam proses penilaian medis dan second opinion. Sebab, situasi demikian kerap terjadi dalam beberapa kasus yang ditangani KPK. Berikut poin-poin kesepakatan KPK dan IDI:
1 Dalam hal penilaian medis, KPK dapat meminta IDI menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk mengkaji dan memberikan keterangan tertulis mengenai kelayakan medis saksi, tersangka, atau terdakwa guna kepentingan proses penyidikan atau persidangan (fit to be questioned or fit to be stand trial).
2 KPK dapat meminta IDI menunjuk dokter atau dokter spesialis untuk mengkaji dan memberikan keterangan tertulis terhadap saksi, tersangka, atau terdakwa yang menolak memberi keterangandengan alasan sakit tanpa ada surat keterangan dan diagnosis dari dokter.
3 Terkait second opinion, atas permintaan KPK, IDI menunjuk dokter untuk memberikan pendapat berdasarkan data atau hasil pemeriksaan kesehatan dokter sebelumnya untuk kepentingan penilaian medis. Secara tertulis dokter yang ditunjuk IDI juga memberikan penjelasan atas surat keterangan hasil penilaian medis dan second opinion itu untuk kepentingan KPK.
Sumber : kpk.go.id

Bila pulih, Setya Novanto penuhi panggilan
Setya tercatat sudah beberapa kali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK dengan alasan sakit. Pertama, saat Setya diagendakan penyidik untuk diperiksa sebagai saksi bagi tersangka kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) Andi Agustinus alias Andi Narogong pada 7 Juli 2017.

Ketika itu, Setya beralasan sakit vertigo. Setya baru hadir memenuhi panggilan penyidik pada 14 Juli 2017. Hingga akhirnya pada 17 Juli 2017, KPK mengumumkan penetapan Setya sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP.

(Baca Juga: Alasan Sakit, Setnov pun Dipastikan Tidak Hadiri Sidang Perdana Praperadilan)

Ketidakhadiran kedua adalah pada saat Setya diagendakan untuk diperiksa sebagai tersangka pada 11 September 2017. Ketua Umum Partai Golkar ini kembali tidak hadir memenuhi panggilan KPK dengan alasan sakit. Namun, bukan lagi vertigo, melainkan gula darah.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham sendiri yang menyerahkan surat keterangan sakit Setya kepada KPK. Kala itu, Idrus mengatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter, gula darah Setya mengalami peningkatan setelah berolahraga sehari sebelumnya.

Idrus menjelaskan, Setya sudah sekitar lima tahun mengidap "gula darah". Setelah dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ternyata penyakit Setya berimplikasi kepada ginjal dan jantungnya. Alhasil, Setya menjalani rawat inap di RS Siloam Semanggi, Jakarta Selatan sejak Minggu (10/9).

Kemudian, Setya dipindah ke RS Premier Jatinegara untuk menjalani operasi pemasangan ring jantung. Operasi itu bertepatan dengan agenda pemeriksaan kedua Setya sebagai tersangka di KPK pada Senin (18/9). Setya tidak dapat hadir, sehingga tim penyidik dan dokter KPK mengecek langsung ke RS Premier.

Idrus meyakini, Setya akan kooperatif memenuhi panggilan KPK bila kondisi kesehatannya sudah pulih. DPP Partai Golkar menghormati proses hukum yang dilakukan KPK, tetapi Golkar juga meminta agar bisa memahami kondisi kesehatan Setya yang tidak memungkinkan memenuhi panggilan kedua KPK.

"Ini sudah dilakukan tindakan. Kita doakan agar kembali pulih dan Pak Novanto sebagai Ketum (Ketua Umum) Partai Golkar dan Ketua DPR sangat kooperatif terhadap penegakan hukum yang ada," terangnya di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat sebagaimana dikutip dari Antara.

Setya merupakan salah seorang tersangka dalam kasus korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (e-KTP) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri. Setya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(Baca Juga: KPK Sudah Periksa 80 Saksi untuk Perkara Setya Novanto)

Sebelumnya, sudah ada tiga orang tersangka yang diproses KPK, yaitu Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong. Dua mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Masing-masing dihukum dengan pidana penjara selama tujuh dan lima tahun penjara.

Sementara, persidangan perkara Andi Narogong masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Jakarta. Akibat perbuatan Irman dan Sugiharto bersama-sama sejumlah pihak tersebut diduga kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun. Nilai kerugian negara ini hampir separuh dari total nilai paket pengadaan e-KTP, yakni sekitar Rp5,9 triliun.
Tags:

Berita Terkait