Tak Ada Aturan Haruskan Pansus Hak Angket Konsultasi dengan Presiden
Berita

Tak Ada Aturan Haruskan Pansus Hak Angket Konsultasi dengan Presiden

UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) hanya mengatur pimpinan DPR yang dapat melakukan rapat konsultasi dengan presiden, bukan Pansus Hak Angket.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES
Kompleks parlemen di Senayan. Foto: RES
Rapat pimpinan DPR segera digelar dalam rangka membahas surat yang diajukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK yang bermaksud melakukan konsultasi dengan Presiden Joko Widodo. Beragam pendapat perihal rapat konsultasi dengan presiden itu pun mengemuka. Salah satunya diutarakan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan.

Taufik menilai, ketika hasil Pansus diboyong langsung ke Presiden tanpa terlebih dahulu disahkan dalam rapat paripurna, terkesan adanya intervensi. Karena itu, mestinya hasil temuan Pansus terlebih dahulu dilaporkan dalam rapat paripurna. Alasannya karena Pansus merupakan ranah DPR.

“DPR kalau kemudian Pemerintah dibawa-bawa disampaikan sebelum paripurna sudah harus konsultasi dengan Presiden agak terkesan seolah-olah ada intervensi. Karena namanya angket ya angket haknya DPR saya sependapat dengan Pemerintah sebelumnya bahwa ini adalah domain DPR,” katanya di gedung DPR, Selasa (20/9).

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu berpendapat, sepanjang hak angket menjadi ranah DPR, tak ada aturan dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) perihal hasil temuan Pansus dikonsultasikan terlebih dahulu ke Presiden sebelum diparipurnakan.

“Ini tidak diatur. Kalau kemudian itu dilaksanakan, kasihan pemerintah. Beban seolah-olah ada intervensi meskipun tidak. Konsultasi dengan Presiden bukan suatu keharusan, karena tidak diatur,” ujarnya.

(Baca juga: Pansus Angket KPK Ajukan Permohonan Konsultasi dengan Presiden)

Berbeda dengan Taufik, Wakil Ketua DPR lainnya, Fahri Hamzah, berpendapat temuan hasil kerja DPR dalam bentuk pengawasan perlu dikomunikasikan dengan pemerintah. Karena temuannya hasil Pansus, maka konsultasi dilakukan dengan level presiden. Sebab, Presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif. Sementara KPK menjadi bagian dari lembaga eksekutif.

“Itu makna konsultasi itu, karena bagaimana pun juga seperti yang sering saya katakan tidak boleh ada masalah yang tidak diketahui oleh Presiden. Gak boleh itu, Presiden harus tahu masalah apa pun yang terjadi,” katanya.

Fahri mengakui adanya dua pandangan yang terus berkembang di internal. Namun keputusan bakal diambil dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus). Ia sendiri menilai, rapat konsultasi antara Pansus dengan Presiden bukanlah bentuk intervensi. Sebab, semua keputusan DPR dieksekusi oleh Presiden melalui perangkat di bawahnya.

(Baca juga: Minim Supervisi KPK, Penanganan Kasus Korupsi Tidak Saling Menguatkan)

Lebih jauh mantan anggota Komisi III DPR periode 2009-2014 itu berpendapat hasil rapat konsultasi sejatinya tak ada keputusan yang mengikat. Dalam rapat konsultasi tersebut Presiden hanya mendengarkan secara resmi apa yang menjadi dinamika di dalam parlemen sebagai lembaga yang mengambil keputusan Pansus Hak Angket.

“Presiden pasti terkena dari keputusan itu. Kecuali kalau presiden mengabaikan, kalau Presiden mengabaikan, DPR punya mekanisme lain. Saya kira tidak mungkin Presiden mengabaikan problem pemberantasan korupsi kita ini,”  ujarnya.

Terpisah, peneliti hukum kenegaraan Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Indra L. Nainggolan berpendapat, rencana rapat konsultasi antara Pansus Angket KPK dengan Presiden Jokowi adalah langkah keliru. Pasalnya hak angket DPR yang diatur dalam Pasal 205 UU MD3 tidak mengatur perihal rapat konsultasi dengan presiden.

Sebaliknya, Pansus Angket hanya dapat memanggil pejabat negara maupun pejabat pemerintah di ruang Pansus Angket. “(Jadi) sama sekali tidak diatur soal rapat konsultasi dengan Presiden,” katanya.

(Baca juga: Pemerintah Sebut Hak Angket DPR Open Legal Policy)

Sedangkan pihak yang dapat mengadakan konsultasi dengan Presiden menjadi tugas pimpinan DPR, bukanlah Pansus Angket. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 86 ayat (1) huruf g UU MD3 yang menyebutkan, “Pimpinan DPR bertugas: mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; “.

“Dalam konteks ketatanegaraan hubungan lembaga negara maka harus ditempatkan bahwa yang dapat melakukan konsultasi adalah pimpinan (DPR),” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait