Alasan Koalisi bahwa Pelibatan TNI dalam RUU Terorisme Tidak Tepat
Berita

Alasan Koalisi bahwa Pelibatan TNI dalam RUU Terorisme Tidak Tepat

Pelibatan TNI dalam menangani terorisme sudah diatur UU TNI.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Pembahasan revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih dibahas di DPR. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melihat dalam pembahasan itu pemerintah dan DPR sepakat mengatur pelibatan TNI dalam menangani terorisme. Pengaturan lebih lanjut akan dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres).

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengatakan pelibatan TNI dalam RUU tersebut tidak perlu dilakukan karena telah diatur dalam pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan itu pada intinya menyebut militer dapat dilibatkan menangani terorisme dalam rangka tugas militer selain perang jika ada keputusan politik negara.

Menurut Al yang dimaksud keputusan politik negara telah dijelaskan pasal 5 UU TNI yakni keputusan Presiden dengan pertimbangan DPR. “Landasan hukum melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sudah tegas diatur dalam UU TNI. Tidak perlu diatur lagi dalam RUU Terorisme,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (22/9).

(Baca Juga: RUU Terorisme Bakal Pidanakan Penyidik Pembocor Hasil Penyadapan)

Al menjelaskan RUU Terorisme mengatur tata cara penegakan hukum dalam mengatasi terorisme. Oleh karenanya yang perlu diatur mengenai berbagai institusi yang terkait penegakan hukum seperti Polri, dan kejaksaan. Pelibatan TNI akan menganggu sistem penegakan hukum dalam penanganan terorisme. Apalagi institusi militer saat ini belum tunduk secara penuh dalam sistem negara hukum, militer belum dapat diadili dalam sistem peradilan umum.

Jika DPR dan pemerintah ingin mengatur pelibatan militer untuk operasi militer selain perang (OMSP) diantaranya pemberantasan terorisme, Al mengusulkan agar diatur dalam UU atau Peraturan Pemerintah (PP) tentang perbantuan /pelibatan militer/OMSP. Hal itu sebagaimana amanat TAP MPR No.7 Tahun 2000, UU TNI dan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Pengaturan melalui Perpres menurut Al tidak tepat karena aturan itu bersifat teknis, bukan prinsip dasar umum yang menjadi rambu dalam menjalankan tugas OMSP.

Deputi Direktur Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan konstitusi sudah mengatur jelas tugas TNI yakni menjaga pertahanan dan teritorial, kemudian Polri menjaga keamanan di dalam negeri. Ini merupakan batas kewenangan kedua institusi tersebut, sehingga UU yang mengatur tentang penanganan terorisme dinamakan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut menunjukan konteks penanganan terorisme arahnya penegakan hukum, komando ada pada Polri.

(Baca Juga: Disepakati, Penyadapan Harus Mendapat Izin Pengadilan)

Militer bisa terlibat, atau memegang komando utama dalam memberantas terorisme ketika kegiatan terorisme sudah mengancam pertahanan dan menguasai wilayah Indonesia. Kala itu terjadi dan Polri menyatakan tidak sanggup menangani terorisme, militer bisa turun dan memegang komando.

“Tidak tepat jika militer dilibatkan dalam tindak pidana terorisme, TNI bukan bagian dari sistem pidana. Kalau TNI tetap dilibatkan akan terjadi masalah dalam pelaksanaannya,” ujar Wahyudi.

Kepala Bidang Strategi dan Mobilisasi KontraS, Puri Kencana, mengatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme pada praktiknya sudah terjadi. Itu bisa dilihat dalam operasi Tinombala di kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Operasi itu masih digelar sampai akhir 2017 untuk mengejar kelompok teroris pimpinan Santoso yang masih tersisa di Poso.

Ketika melakukan pemantauan di desa Tangkura, Puri melihat dari 7 pos yang ada 5 diantaranya pos militer, hanya 2 pos yang diisi personil kepolisian. Menurutnya yang paling banyak di lapangan mestinya pos polisi karena mereka institusi utama yang memberantas tindak pidana terorisme. “Harusnya ada parameter yang jelas untuk melibatkan TNI dalam menangani terorisme,” usulnya.

(Baca Juga: Pembahasan RUU Terorisme Mesti Kedepankan Asas Kehati-hatian)

Puri menegaskan aturan yang ada sudah jelas dalam melibatkan militer untuk OMSP seperti menangani terorisme harus ada keputusan politik, Presiden harus berkonsultasi dengan DPR. Sayangnya aturan itu tidak diadopsi secara baik dalam RUU Terorisme, DPR terkesan melempar rencana pelibatan militer ini kepada Presiden Joko Widodo. “Koridor penanganan tindak pidana terorisme harus tetap dalam ranah penegakan hukum. Komando pemberatasan terorisme ada di kepolisian,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait