Ragam Kritik atas Kebijakan Biaya Isi Ulang e-Money
Utama

Ragam Kritik atas Kebijakan Biaya Isi Ulang e-Money

Pembebanan biaya isi saldo untuk uang elektronik (e-money) kepada konsumen kurang tepat karena tidak sesuai dengan tujuan nasional gerakan nasional non tunai.

Oleh:
M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: elektronikcard.blogspot.com
Foto: elektronikcard.blogspot.com
Kebijakan tarif pengisian saldo uang elektronik (e-money) yang tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor (PADG) 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, menuai banyak kritik. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyarankan BI tidak memaksakan perbankan menarik biaya isi ulang kartu uang elektronik atau "e-money" sebagaimana direncanakan sebelumnya.

"Saran paling riil adalah jangan mewajibkan bank untuk menarik biaya isi ulang. Menetapkan tarif tertinggi boleh, tetapi jangan memaksa harus menarik biaya," kata Tulus seperti dikutip dari Antara, Jumat (22/9).

Tulus mengatakan perbankan akan lebih kompetitif dalam melayani konsumen bila dibebaskan dari kewajiban menarik biaya isi ulang, meskipun dia mengakui aturan tentang biaya isi ulang bisa menertibkan pihak-pihak yang selama ini menarik biaya tinggi untuk isi ulang.

Di sisi lain, Tulus menilai Bank Indonesia akan terkesan berpihak pada bank tertentu bila tetap memaksakan biaya isi ulang pada kartu uang elektronik. "Secara filosofi saja kami tidak setuju dengan biaya isi ulang itu. Konsumen dipaksa menggunakan uang elektronik dengan dalih untuk mendukung masyarakat tanpa uang tunai. Seharusnya konsumen menerima insentif karena sudah ikut mendukung, bukan malah disinsentif," tuturnya.

Kalau penarikan biaya isi ulang uang elektronik itu menggunakan alasan untuk membiayai perawatan infrastruktur, Tulus mengatakan seharusnya bisa memakai biaya dari penghematan anggaran yang terjadi dari kebijakan tersebut. (Baca Juga: BI Terbitkan Aturan, Top Up e-Money Maksimal Kena Biaya Rp1.500)

"Pengelola jalan tol diuntungkan karena tidak perlu menyiapkan uang kembalian yang nilainya cukup banyak. Saya mendengar cerita dari pengelola jalan tol, selama ini mereka kesulitan menyiapkan uang kembalian di pintu tol," katanya.

Dengan penggunaan uang elektronik melalui gerbang tol otomatis (GTO), maka pengelola jalan tol akan menghemat biaya yang bisa dialokasikan untuk perawatan infrastruktur. "Perawatan infrastruktur juga bisa menggunakan anggaran Bank Indonesia yang dihemat melalui kebijakan itu. Dengan penggunaan uang elektronik tentu biaya pencetakan uang akan menurun," katanya.

Tulus mengingatkan bahwa GTO yang mengharuskan pengguna jalan tol membayar menggunakan uang elektronik tidak mengurangi kemacetan di jalan tol. "Yang menyebabkan kemacetan di jalan tol adalah volume kendaraan yang tinggi. Karena itu, GTO dan kewajiban uang elektronik tidak berguna untuk mengurangi kemacetan," kata Tulus.

Tulus mengatakan pihaknya sudah mulai menerima keluhan GTO semakin macet setelah pengguna jalan tol diwajibkan menggunakan uang elektronik untuk membayar tol. Menurutnya, Jasa Marga sebagai pengelola jalan tol telah salah memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat bahwa GTO akan dapat mengurangi kemacetan.

"Sebenarnya, soal tol elektronik kita sudah tertinggal daripada negara lain. Dulu Malaysia belajar soal tol dari Indonesia. Mereka sudah lebih dulu menggunakan tol elektronik, kita baru mau memulai," tuturnya.

Dengan perbandingan jumlah jalan dan kendaraan, Tulus mengatakan GTO dan uang elektronik tidak akan efektif untuk mengurangi kemacetan. Karena itu, tidak seharusnya isi ulang uang elektronik dikenai biaya. (Baca Juga: Peraturan BI Soal National Payment Gateway Terbit, Ini Poin-Poin Pentingnya)

"Konsumen jalan tol tidak merasakan nilai lebih dari penggunaan uang elektronik, kok malah dikenai biaya. Kebijakan tol elektronik lebih memberikan keuntungan pada pengelola jalan tol dan perbankan," katanya.

Tulus mengatakan sebelum penggunaan GTO dan uang elektronik, pengelola jalan tol harus menyediakan uang kembalian di setiap pintu tol yang nilainya tidak sedikit. Hal itu tidak akan terjadi lagi dengan penggunaan uang elektronik.

Sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai keputusan Bank Indonesia yang memperbolehkan industri perbankan memungut biaya isi saldo uang elektronik kontradiktif dalam upaya menggencarkan transaksi nontunai.

Bhima mengatakan pengenaan biaya itu bisa menjadi disinsentif, terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017. Menurut dia, pengenaan biaya isi saldo dikhawatirkan justru membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik dan kembali memanfaatkan transaksi tunai.

Seharusnya, tambah dia, BI dan industri perbankan memberikan insentif bagi masyarakat, karena bank-bank sudah mendapat keuntungan dari marjin penjualan kartu perdana uang elektronik. (Baca Juga: David Tobing: Biaya Isi Ulang e-Money Rugikan Konsumen)

"Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana 'e-money' tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi," ujar dia.

Tak Adil Bagi Kosumen
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) menilai pembebanan biaya isi saldo untuk uang elektronik (e-money) kepada konsumen kurang tepat, karena tidak sesuai dengan tujuan nasional gerakan nasional non tunai.

"Kebijakan BI ini tidak sejalan dengan tujuan nasional gerakan nasional non tunai dan jelas tidak adil bagi konsumen. Substansi kebijakan ini cenderung mengedepankan kepentingan dunia usaha perbankan," ujar Ketua BKPN Ardiansyah.

Menurut Ardiansyah, konsumen seharusnya mendapatkan insentif dan bukan disinsentif dalam pelaksanaan program "cashless society", karena kebijakan tersebut sudah memberikan banyak keuntungan. Ia menambahkan pemerintah maupun Bank Indonesia bisa memberikan kemudahan dan pilihan kepada konsumen, agar tidak menimbulkan ketidakadilan yang memberatkan masyarakat. (Baca Juga: 4 Bank BUMN Tak Kenakan Biaya Isi Ulang e-Money)

Selain itu, kata dia, program pembayaran non tunai juga harus dijalankan dengan tidak mengurangi nilai dana yang dimiliki konsumen dibandingkan dengan transaksi tunai. "Regulasi yang bersifat tidak adil bagi konsumen, pragmatis, berorientasi jangka pendek atau hanya berpihak pada dunia usaha pasti cepat tertinggal," ujar Ardiansyah.

Untuk itu, ia meminta Bank Indonesia untuk mengantisipasi perkembangan dinamika transaksi elektronik dan pola masyarakat yang berubah dengan cepat dengan membuat regulasi yang imbang. "Jika regulasi tidak mampu mengimbangi, maka bukan hanya jasa perbankan nasional ditinggalkan oleh konsumen, namun kedaulatan jasa keuangan nasional juga terancam," kata Ardiansyah.

BKPN memberikan rekomendasi terkait pembebanan biaya isi ulang saldo elektronik agar kebijakan "e-money" ini mempunyai daya jangkau serta mengarah kepada efisiensi untuk alat transaksi masyarakat. Rekomendasi itu adalah bebas biaya isi ulang "e-money" bisa dilakukan kepada konsumen bila "top up" dilakukan pada bank, lembaga penerbit maupun afiliasinya. Sedangkan, pembebanan biaya isi ulang uang elektronik bisa dilakukan seringan mungkin apabila dilakukan melalui "merchant" dan bukan melalui bank, lembaga penerbit maupun afiliasinya.

Dengan demikian, konsumen diharapkan tetap memiliki alternatif terhadap model "top up" yang dapat dilakukan melalui cara berbayar maupun tidak berbayar. Selain itu, pada setiap transaksi di NKRI, idealnya setiap konsumen tetap terjamin untuk memilki akses pembayaran tunai, sesuai UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

"Semua bentuk pengaturan juga mengedepankan kepentingan dan keadilan bagi konsumen, termasuk pengaturan aplikasi uang elektronik pada transaksi jasa jalan tol," tambah Ardiansyah.

Tidak Boleh Sembarangan
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) Wimboh Santoso mengatakan penerapan biaya isi saldo untuk uang elektronik (e-money) harus dilakukan secara terukur dan tidak boleh dilaksanakan sembarangan. "Bank mencari profit harus terukur, makanya dia kalau memberikan fee, tidak boleh sembarangan," kata Wimboh.

Wimboh mengatakan idealnya penerapan biaya isi saldo untuk e-money ini ditentukan oleh industri perbankan agar pelaksanaan gerakan nontunai dapat berlangsung sesuai mekanisme pasar. "Kalau 'pricing' memang industri yang menentukan, mau ada fee, mau nggak ada fee, biar mekanisme pasar. Saya rasa BI kan juga tidak mengatur 'pricing'," ujarnya.

Menurut dia, konsumen bisa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh layanan yang memadai dari pelaksanaan gerakan nontunai, apabila penentuan biaya isi ulang saldo diupayakan oleh industri perbankan.

Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, masyarakat jangan dijadikan sebagai "mangsa" target peningkatan pendapatan komisi perbankan melalui aplikasi berbasis teknologi. Menurut Hendrawan, dengan pesatnya teknologi sistem pembayaran saat ini, biaya yang dibayar oleh masyarakat untuk transaksi pembayaran seharusnya semakin mudah dan murah, bahkan gratis.

Dalam PADG tersebut, BI juga mengatur ketentuan agar pengisian saldo uang elektronik dapat dilakukan tanpa biaya. "Masyarakat jangan sampai jadi mangsa insting fee-based (pendapatan berbasis komisi) akibat aplikasi teknologi," ujar Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) itu.

Jika industri perbankan dan regulator Bank Indonesia membiarkan peningkatan biaya yang harus dibayar masyarakat akan berakibat kepada semakin lesunya daya beli masyarakat. Hendrawan mengatakan sebagai anggota Komisi XI, dirinya ingin mendengar penjelasan langsung dari BI terkait telah dikeluarkannya Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor (PADG) 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, yang salah satu di dalamnya mengatur biaya isi ulang uang elektronik. Namun, Komisi XI DPR belum menjadwalkan pemanggilan BI untuk membahas hal tersebut.

Tags:

Berita Terkait