Jawaban "Lunas" KPK Atas Praperadilan Setya Novanto
Berita

Jawaban "Lunas" KPK Atas Praperadilan Setya Novanto

KPK meminta Hakim untuk menolak semua petitum praperadilan Setya Novanto.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto bersama mantan Anggota DPR lainnya bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4).
Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto bersama mantan Anggota DPR lainnya bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/4).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas gugatan Ketua DPR RI Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Dalam jawabannya, tim biro hukum KPK memaparkan berbagai argumen berdasarkan aturan hukum yang berlaku, baik KUHAP, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, maupun aturan hukum lain termasuk yurisprudensi pengadilan. 

Pertama mengenai kompetensi absolut yang berkaitan dengan penyelidik dan penyidik KPK yang dianggap bukan berasal dari Polri, Kejaksaan atau PPNS lain. Kemudian kedudukan 11 penyidik Polri yang diangkat sebagai pegawai KPK, tetapi belum diberhentikan dari instansi Kepolisian dan dianggap bertentangan dengan Pasal 39 ayat (3) UU KPK.

Dalil ini menurut Kepala Biro Hukum KPK Setiadi keliru, tidak benar, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Praperadilan, kata Setiadi merupakan sarana pengawasan horisontal yang terbatas melakukan pemeriksaan formil seperti sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan diperluas oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.

Menurut lingkup kewenangannya, maka dalil yang disampaikan Setya Novanto melalui kuasa hukumnya bukan kewenangan (objek) praperadilan karena sah atau tidaknya pengangkatan penyidik dan penyelidik merupakan obyek kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sesuai Pasal 1 angka 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004 jo UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan pengangkatan pegawai KPK termasuk sebagai penyelidik dan penyidik merupakan penetapan tertulis dikeluarkan badan/pejabat pemerintah yang merupakan keputusan badan atau pejabat negara di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan penyelenggara (negara) lain sesuai UU KPK serta peraturan pemerintah terkait.

“Berdasarkan hal tersebut, keputusan pengangkatan anggota aktif kepolisian yang telah menjadi pegawai tetap Termohon (KPK) berdasarkan keputusan pimpinan KPK memenuhi unsur-unsur keputusan Tata Usaha Negara,” kata Setiadi di PN Jakarta Selatan, Jumat (22/9). Baca Juga: Dalil “Lawas” Novanto Lepas Jeratan KPK

Masuk pokok perkara
Kemudian terkait tuduhan Novanto yang melakukan korupsi sesuai Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor tidak berdasar dan dianggap keliru jika diajukan dalam sidang praperadilan. Alasannya, dalil tersebut dianggap sudah memasuki pokok perkara yang seharusnya menjadi kewenangan Pengadilan Tipikor Jakarta.

Menurut Setiadi, pemaknaan hukum yang keluar dari ruang lingkup praperadilan dengan memasukkan pengujian alat bukti yang dihimpun oleh penyidik untuk diuji sebenarnya telah mengambil tugas penuntut umum. Sebagaimana diatur Pasal 138 KUHAP, salah satu tugas penuntut umum adalah meneliti hasil penyidikan.

Dengan demikian, ruang lingkup praperadilan tidak boleh memasuki ruang lingkup pokok perkara karena untuk meneliti tentang kecukupan alat bukti merupakan ruang lingkup pokok perkara adalah tugas penuntut umum. “Apabila praperadilan sudah menguji tentang alat bukti maka dengan sendirinya telah mengambil alih kewenangan penuntut umum dalam bekerjanya sistem peradilan pidana di Indonesia,” tutur Setiadi.

Sama halnya ketika praperadilan telah memasuki ruang lingkup pengujian kompetensi absolut, maka hal ini berarti akan membawa praperadilan untuk memasuki ruang lingkup pokok perkara. Alasannya, dengan sendirinya praperadilan akan masuk pada pengujian hasil penyidikan, selanjutnya menguji kesesuaian unsur delik dengan alat bukti yang dihimpun penyidik, termasuk di dalamnya kompetensi absolut. Padahal semuanya itu bukan ruang lingkup Praperadilan, tetapi sudah memasuki ruang lingkup pokok perkara.  

“Dengan demikian penyidikan itu telah kehilangan makna dan juga kehilangan relevansinya.  Bahkan dapat diartikan penyidikan yang dimaksudkan untuk menghimpun alat bukti itu sudah tidak perlu dilanjutkan lagi, karena untuk menyatakan seseorang bersalah dan dijatuhi pidana bukan melalui lembaga Praperadilan. Apakah demikian tujuan praperadilan itu? Praperadilan berarti telah mengambil alih tugas Majelis Hakim yang menyidangkan pokok perkara,” tegas Setiadi.

Pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang dipersangkakan kepada Pemohon haruslah diadili pada persidangan pokok perkaranya dimana persidangan dengan jumlah Majelis Hakim yang lengkap karena memeriksa dan memutus pokok perkara sebagaimana ketentuan Pasal 26 UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor).

Pencegahan salah alamat
Selanjutnya mengenai permohonan pencabutan pencegahan bepergian keluar negeri Novanto oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM atas permintaan KPK. Salah satu tim biro hukum, Efi Laila mengatakan permintaan tersebut salah alamat karena bukan merupakan ruang lingkup praperadilan sesuai Pasal 77 KUHAP dan perluasan objek praperadilan sesuai putusan MK.

Selain itu, lingkup praperadilan dalam Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan menyatakan bahwa objek Praperadilan terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan, serta ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 (PP Keimigrasian) telah mengatur mekanisme Keberatan bagi seseorang yang dikenakan Pencegahan untuk dapat mengajukan Keberatan kepada pejabat/instansi yang mengeluarkan keputusan, Pemohon dapat mengajukan keberatan kepada KPK.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang Berkaitan dengan Pencegahan

Pasal 16 ayat (1)

Pejabat imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut;
Tidak memiliki dokumen perjalanan yang masih berlaku
Diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas oermintaan pejabat yang berwenang, atau
Namanya tercantum dalam daftar pencegahan

Ban IX Pasal 19 ayat (2)

Menteri melaksanakan pencegahan berdasarkan;
perintah ketua KPK sesuai ketentuan perundang-undangan

Pasal 96

ayat (1) Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada yang mengeluarkan keputusan pencegahan,
ayat (2) pengajuan keberatan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dilakukan secara tertulis disertai dengan alasan dan disampaikan dalam jangka waktu berlakunya dimulainya pencegahan,
ayat (3) Pengajuan keberatan tidak menunda pencegahan



























“Karena itu, pengujian atas kewenangan Termohon dalam melarang seseorang bepergian ke luar negeri untuk kepentingan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan seperti diatur Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK secara jelas bukan dalam merupakan lingkup praperadilan karena telah diatur mekanisme keberatan bagi seseorang yang dikenakan pencegahan sebagaimana diatu peraturan perundang-undangan,” jelas Efi. (Baca Juga: Terpenting Bagi KPK, Setya Novanto Fit to be Questioned)

Permohonan prematur
Salah satu petitum Setya Novanto yang cukup menarik adalah meminta agar majelis mengeluarkan dirinya dari tahanan. Efi kembali menjelaskan sampai saat pembacaan jawaban ini, KPK belum melakukan tindakan ataupun upaya penahanan terhadap Novanto. Sehingga secara logis, dalil-dalil permohonan praperadilan ataupun Petitum Pemohon terkait mengeluarkan Pemohon dari tahanan hanya dapat diajukan sebagai upaya praperadilan, apabila Termohon selaku Penyidik telah melakukan upaya paksa berupa tindakan penahanan terhadap Termohon. 

Efi menerangkan lingkup kewenangan praperadilan secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 KUHAP dan berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang memperluas lingkup kewenangan praperadilan termasuk mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.   

Selain itu, kerugian karena dikenakan "tindakan lain" yang juga menjadi kewenangan lembaga praperadilan juga telah diatur secara terbatas (limitatif) dalam penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP yaitu kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan tanpa alasan (penahanan yang lebih lama dari pidana yang dijatuhkan).

Pemahaman "tindakan lain", ujar Efi dalam ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP haruslah berkenaan dengan "upaya paksa" yang dilakukan oleh Penyidik dalam perkara tindak pidana. Dikarenakan permohonan praperadilan diajukan terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh Termohon sebagai Penyidik, maka secara logis permohonan praperadilan seharusnya hanya dapat diajukan setelah Termohon selaku Penyidik melakukan upaya paksa terhadap diri Pemohon.

“Faktanya sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan aquo, Termohon belum melakukan upaya paksa apapun terhadap diri Pemohon baik berupa penangkapan, penahanan, pemasukan rumah, penyitaan, atau penggeledahan terhadap diri Pemohon, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 77 jo Pasal 82 ayat (1) jo Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP,” tutur Efi.

Permohonan kabur
Petitum permohonan praperadilan pihak Novanto yang terakhir yaitu meminta majelis untuk membatalkan statusnya sebagi tersangka. Petitum yang diajukan ini menurut Efi juga keliru, tidak benar, tidak beralasan dan tidak berdasarkan hukum. Alasannya pihak kuasa hukum tidak menguraikan secara jelas bentuk penetapan mana yang dimaksud dalam Petitumnya tersebut.

“Sehingga tidak jelas maksud dari Petitum yang dimohonkan oleh Pemohon tersebut. Hal ini mengakibatkan Petitum yang diajukan oleh Pemohon menjadi kabur dan tidak jelas (obscuur libel),” tegas Efi.

Ia merujuk pada putusan MA No. 492 K/Sip/1970 tanggal 21 November 1970 yang menyatakan, “Petitum dinyatakan tidak jelas karena tidak menyebut secara tegas apa yang dituntut, karena petitum hanya meminta disahkan semua Kepmen tanpa menyebut secara tegas keputusan mana yang disahkan. Sedang Petitum yang lain, menuntut agar tergugat dinyatakan perbuatan melawan hukum tanpa menyebut perbuatannya secara tegas,” tutur Efi mengutip putusan tersebut.

Secara formil dalil-dalil permohonan praperadilan (posita) atau Fundamentum Petendi yaitu bagian yang berisi dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian suatu tuntutan. Dalam mengajukan suatu tuntutan, pemohon/penggugat harus menguraikan terlebih dahulu alasan-alasan atau dalil-dalil yang melandasi pengajuan tuntutannya. Dengan kata lain, posita/fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus. Sedangkan petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh pemohon/penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. 

Petitum permohonan yang diajukan kuasa hukum Novanto mengenai permohonan untuk menyatakan batal dan tidak sah segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon merupakan petitum yang sama sekali tidak didalilkan oleh Pemohon dalam keseluruhan posita permohonan praperadilan Pemohon dan secara tiba-tiba dimohonkan dalam petitum.  

“Jika merujuk pada hubungan antara posita dan petitum maka petitum yang diajukan oleh Pemohon tersebut tidak memiliki landasan hukum karena Pemohon tidak dapat menjelaskan dasar hukum dan korelasi hukum terkait dengan petitum untuk menyatakan batal dan tidak sah segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh Termohon yang dimohonkan oleh Pemohon,”  imbuhnya.

Dengan demikian, petitum dalam permohonanp praperadilan yang diajukan oleh kuasa hukum Novanto dianggap kabur, tidak berdasar dan tidak jelas (Obscuur Libel), tanpa alasan sesuai undang-undang. Sehingga ia berpendapat permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Tags:

Berita Terkait