Ada Kendala dalam Pelaksanaan Perhutanan Sosial
Berita

Ada Kendala dalam Pelaksanaan Perhutanan Sosial

Pemerintah menargetkan untuk membuka perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar pada 2019. Kebijakan anggaran untuk perhutanan sosial masih minim.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Pemerintah telah memasukan program perhutanan sosial dalam RPJMN 2015-2019. Targetnya pada 2019 nanti Pemerintah mampu membuka akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan seluas 12,7 juta hektar selama 5 tahun. Berbagai kalangan menyambut baik kebijakan tersebut, tapi juga menyoroti karena ada kendala dalam pelaksanaannya.

Peneliti IBC, Maryono, misalnya, menghitung jumlah anggaran yang disediakan pemerintah untuk program perhutanan sosial sangat rendah dan berdampak pada pencapaian target. Ia mencatat periode 2015-2017 ada sekitar 510 ribu hektar perhutanan sosial yang diujudkan dalam bentuk izin atau MoU. Padahal RPJMN menargetkan dalam kurun waktu tersebut harusnya mampu mencapai 7,62 juta hektar. Selaras itu alokasi anggaran yang disediakan pemerintah untuk pemberian akses kelola perhutanan sosial sangat minim. Selama 2015-2017 anggaran untuk penyiapan area perhutanan sosial rata-rata Rp38,76 milyar setiap tahun.

(Baca juga: Beleid Ini Perlu dalam Percepatan 12,7 Juta Hektar Perhutanan Sosial).

IBC menghitung agar mampu mencapai target 12,7 juta hektar, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran sedikitnya Rp830,58 milyar setiap tahun. Biaya itu diperlukan meliputi sejumlah kebutuhan seperti pendampingan masyarakat, sosialisasi, fasilitasi dan verifikasi usulan penerbitan izin perhutanan sosial. “Total anggaran yang dibutuhkan pemerintah untuk mencapai target 12,7 juta hektar yakni Rp4,15 triliun,” kata Maryono dalam jumpa pers, Rabu (27/9).

Direktur JKPP, Deny Rahadian, mencermati masalah peta yang memuat areal kawasan hutan negara yang dicadangkan untuk perhutanan sosial atau disebut Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Penetapan PIAPS dilakukan dengan cara mengharmonisasi peta yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dengan peta lembaga swadaya masyarakat atau sumber lain.

Deny menyebut organisasinya pernah diajak pemerintah untuk harmonisasi peta, dari area seluas 10 juta hektar sebanyak 5,2juta sudah diharmonisasi. Namun, dari proses tersebut yang bisa masuk PIAPS hanya 2 jutaan hektar. Masyarakat kesulitan dalam mengusulkan area yang masuk menjadi perhutanan sosial karena PIAPS mewajibkan wilayah yang diusulkan itu harus clean and clear (CnC). Tidak boleh ada tumpang tindih dengan izin yang berlaku di daerah tersebut.

(Baca juga: Pengakuan Hutan Adat Perlu Diikuti Kebijakan Ini).

Faktanya, sangat sedikit wilayah yang lahannya CnC. Sebagian besar peta yang diusulkan masyarakat pasti berbenturan dengan izin lain yang sudah dikeluarkan baik itu izin yang diberikan kepada perusahaan atau yang dimiliki pemerintah seperti hutan konservasi. Sekalipun ada area yang CnC, Deny mengatakan masayrakat sulit mengaksesnya karena disekelilingnya merupakan lahan yang sudah mengantongi izin.

Walau mengakui proses penentuan perhutanan sosial melalui PIAPS cukup partisipatif karena melibatkan masyarakat tapi Deny mengkritik tim verifikasi dari pihak pemerintah tidak rinci mencermati lahan yang diusulkan. Tim verifikasi hanya melihat apakan kawasan itu masuk kategori hutan atau tidak. Mereka tidak memperhatikan apakah dalam kawasan itu ada pemukiman atau izin lain. “Dari sekitar 10 juta hektar peta partisipatif yang diusulkan masyarakat, lebih dari 70 persen area sudah ada izinnya atau rawan konflik baik itu dengan perusahaan atau pemerintah,” urainya.

Koordinator Analisis Hukum dan Data HUMA, Erwin Dwi Kristianto, mencatat sedikitnya ada 6 persoalan dalam program pemerintah untuk membuka akses hutan kepada masyarakat. Pertama, penetapan hutan adat masih tergantung pada pengakuan masyarakat adat oleh pemerintah daerah (pemda) melalui produk hukum daerah seperti peraturan daerah (perda).

Kedua, penetapan hutan adat masih bertumpu pada peran aktif masyarakat sebagai pemohon dibandingkan pemerintah. Padahal, tidak semua masyarakat hukum adat bisa dengan mudah mengakses kota, ada yang lokasinya jauh di pedalaman hutan. Peraturan Menteri LHK No.32 Tahun 2015 juga mengamanatkan jajarannya untuk aktif.

Ketiga, belum ada terobosan yang bisa jadi model penetapan perhutanan sosial di area yang sudah dibebani izin. Praktik selama ini menggunakan mekanisme kemitraan, dan ternyata tidak menjawab penyelesaian konflik yang ada. Keempat, persoalan koordinasi antar direktorat jenderal di kementerian LHK dan antar kementerian. Kelima, mengeliminasi kedudukan dan peran desa. “Keenam, tidak ada penyelesaian konflik tenurial di wilayah kerja Perhutani, melainkan hanya sebatas kemitraan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait