Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto
Utama

Pertimbangan Hakim Batalkan Status Tersangka Setya Novanto

KPK membuka peluang kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.

Oleh:
CR-24
Bacaan 2 Menit
Hakim Cepi Iskandar saat memeriksa bukti permohonan praperadilan Setya Novanto. Foto: RES
Hakim Cepi Iskandar saat memeriksa bukti permohonan praperadilan Setya Novanto. Foto: RES
Hakim tunggal Cepi Iskandar akhirnya mengabulkan sebagian permohonan Setya Novanto dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Hakim menyatakan penetapan Ketua Umum Partai Golkar itu sebagai tersangka korupsi e-KTP itu dianggap tidak sah. Karena itu, seluruh akibat yang timbul dari penetapan tersangka tersebut juga dianggap tidak sah menurut hukum.

Dalam pertimbangannya, Hakim beranggapan jika proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dilakukan sesuai prosedur yang berlaku baik UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, KUHAP, dan peraturan, ataupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dimiliki lembaga antirasuah tersebut. Akibatnya, status tersangka Novanto dianggap cacat hukum.

Menurut Hakim Cepi, KPK menggunakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) milik Irman dan Sugiharto serta Andi Narogong untuk memeriksa saksi, melakukan penyitaan, dan memperoleh bukti-bukti. Dan hasil pemeriksaan, penyitaan, dan bukti-bukti tersebut digunakan pula untuk perkara Setya Novanto. Hal tersebut dianggap melanggar prosedur KPK sendiri.

“Yang menjadi tidak sesuai dengan prosedur manakala ada sprindik orang lain dipergunakan untuk perkara lain. Sprindik No. 56/01/07/2017 seharusnya untuk perkara pemohon tidak boleh untuk perkara orang lain. Begitu pula sebaliknya karena akan terjadi ketidakjelasan,  inefisiensi,  tidak selaras,  tidak terukur, tidak adanya kepastian hukum,” ujar Hakim Cepi saat membacakan pertimbangan putusan, di PN Jaksel, Jumat (29/9/2017).

Hakim berpendapat status seseorang menjadi tersangka seharusnya terjadi pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan. Ia merujuk pada Bab VII bagian ketiga, Pasal 46 UU KPK terkait penetapan tersangka berada dalam Bab penyidikan, bukan penyelidikan. Karena itu, ia mempunyai pandangan jika penyidikan harus diawali proses penyelidikan. Artinya, penetapan tersangka baru ada dalam proses penyidikan, bukan penyelidikan.

Pendapat ini sejalan dengan ahli dari Setya Novanto yaitu Prof Romli Atmasasmita yang menyatakan harus ada prosedur penyelidikan sebelum adanya penyidikan. Berbeda dengan pendapat Adnan Paslyadja yang menilai asal ada dua bukti permulaan yang cukup (sekurang-kurangnya 2 alat bukti), maka KPK bisa meningkatkan status seseorang sebagai tersangka meskipun masih dalam tahap penyelidikan.

Kemudian mengenai waktu penetapan seseorang sebagai tersangka apakah dalam akhir penyelidikan atau awal penyidikan atau malah pada akhir penyidikan. Dalam Pasal 44 UU KPK menjelaskan penyelidik dalam melakukan penyelidikan jika mempunyai bukti permulaan yang cukup, maka dalam waktu 7 hari kerja melaporkan kepada KPK. Baca Juga: Ahli Perkuat Argumentasi KPK dalam Sidang Praperadilan

Menurut Hakim Cepi, UU KPK tidak ada satu pasal yang secara jelas dan tegas mengatur kapan seseorang menjadi tersangka. Karenanya, diberlakukan Pasal 38 UU KPK yakni segala kewenangan yang ada dalam KUHAP juga berlaku bagi KPK. Dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu peristiwa pidana dan menentukan tersangka.

“Penetapan tersangka hakim praperadilan disamping telah ada dua alat bukti yang sah juga telah ada calon tersangka yang dalam proses akhir penyidkan bukan awal,” tutur Hakim Cepi. Pendapat ini berbeda dengan ahli yang dihadirkan Novanto yaitu Romli Atmasasmita jika KPK bisa menetapkan tersangka pada awal proses penyidikan.

Hakim beralasan hal itu bertujuan agar para aparat penegak hukum tidak tergesa-gesa dan kurang berhati-hati sehingga melanggar hal dan martabat seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan melakukan tahapan tersebut, penegak hukum bisa menghindar dari segala tindakan yang menjurus pada penyalahgunaan wewenang yang kurang manusiawi dan bertentangan dengan hak asasi manusia.

Apabila semua aparat penegak hukum memahami maksud yang tersirat maupun tersurat yang ada dalam KUHAP dan UU KPK serta peraturan lain, maka menurut Hakim Cepi proses pemeriksaan seseorang dapat mencegah terjadinya pelanggaran harkat dan martabat seseorang sesuai asas perlindungan HAM,  perlakuan yang sama di muka hukum, asas praduga tak bersalah pada orang yang ditangkap, ditahan atau dituntut karena kekeliruan terhadap orangnya, sejak di tingkat penyelidikan dengan sengaja menyebabkan asas tersebut dilanggar dikarenakan prosedur administrasi. 

“Proses penetapan tersangka di akhir penyidikan itu, maka hak calon tersangka dapat dilindungi sebelum menetapkan jadi tersangka. Telah memperoleh waktu yang cukup untuk mempelajari bukti-bukti apakah bukti valid atau tidak, sah atau tidak, calon tersangka yang menjadi tersangka tidak dapat lagi memperjuangkan haknya manakala bukti yang diajukan tidak valid atau cara memperoleh tidak sesuai peraturan perundang-undangan,” lanjutnya.

Hakim Cepi mengingatkan sesuai prinsip Pasal 5 UU KPK dan penjelasannya, dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPK mempunyai asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan adanya kaedah kepatutan dan keadilan. Dari bukti-bukti yang diberikan KPK dan merujuk pada Pasal 1 KUHAP justru membuktikan jika status penetapan Novanto dilakukan tanpa melalui prosedur penyelidikan.

“Artinya ketika ditetapkan sebagai tersangka termohon belum melakukan penyidikan dalam perkara a quo dan belum diperiksa sebagai calon tersangka, memeriksa saksi, alat bukti. Sebab, secara logika hukum termohon harus mempunyai waktu yang singkat sprindik 17 Juli 2017 dan SPDP 18 Juli 2017 sesuatu yang tidak mungkin dilakukan termohon. Justru, hal yang diperoleh merupakan hasil dari penyelidikan dan penyidikan atas perkara orang lain yakni Irman dan Sugiharto serta Andi Narogong,” tegasnya.

KPK gagal dalam pencegahan
Hakim Cepi memahami maksud KPK dalam memberantas korupsi harus tuntas, termasuk mengungkap siapa aktor intelektual di balik kasus tersebut. Namun, cara yang dilakukan seharusnya juga berpedoman pada aturan hukum perundang-undangan yang berlaku meskipun KPK merupakan lembaga independen.

Selain mempermasalahkan proses penyelidikan dan penyidikan dalam penetapan Novanto sebagai tersangka, Hakim Cepi juga menganggap jika KPK punya “andil” terhadap terjadinya kasus korupsi pengadaan e-KTP dengan nilai kerugian negara berdasarkan hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) senilai Rp2,3 triliun.

Alasannya, pada awal proyek ini, Hakim Cepi menyebut jika Presiden RI kala itu (Susilo Bambang Yudhoyono) pernah meminta agar KPK mengawal dan mengawasi program e-KTP agar tidak terjadi penyimpangan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ada pihak-pihak tertentu yang mendapat keuntungan, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara. “Artinya KPK belum melakukan fungsi pencegahan sebagaimana diatur Pasal 1 ayat (3) UU KPK,” kritik Hakim Cepi. Baca Juga: Masalah Penulisan ‘Dkk’ dalam Sprindik Pun Dipersoalkan

Dari berbagai pertimbangan diatas, majelis berkesimpulan penetapan Novanto sebagai tersangka tidak berdasarkan prosedur dan tata cara yang diatur dalam UU KPK, KUHAP serta peraturan perundang-undangan lain. “Menimbang oleh karena penetapan tidak berdasar prosedur, maka penetapan pemohon Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah,” tegasnya lagi.  

Berikut tabel permohonan dan putusan praperadilan Setya Novanto:
Petitum Putusan Setya Novanto
Mengabulkan permohonan seluruhnya Mengabulkan sebagian
Menyatakan batal demi hukum dan tidak sah penetapan Tersangka terhadap kepada Novanto selaku pemohon yang dikeluarkan KPK selaku termohon berdasarkan Surat No. 310/23/07/2017 tanggal 18 Juli 2017, Perihal : Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan segala akibat hukumnya Menimbang bahwa petitum nomor dua yang batal demi hukum dan tidak sah menurut tersangka yang dikeluarkan termohon berdasarkan nomor surat 301/23/27 tanggal 18 Juli 2017 tentang SPDP dengan segala pertimbangan hukum maka patut dikabulkan dengan perubahan redaksi.
Memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No. Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017
Petitum ketiga didasarkan dikabulkannya petitum nomor dua oleh karenanya petitum nomor dua dikabulkan maka petitum nomor 3 dikabulkan
Memerintahkan termohon untuk mencabut penetapan pencegahan terhadap Setya Novanto dalam hal pencekalan terhadap Setya Novanto sejak putusan dibacakan
Menimbang bahwa petitum nomor 4, menurut hakim praperadilan kewenangan dari pejabat instansi yang berwenang tersebut, oleh karena itu petitum ini tidak dapat dikabulkan. 
Memerintahkan mengeluarkan Setya Novanto dari tahanan Menimbang bahwa termohon belum melakukan upaya paksa, maka petitum 5 tidak beralasan hukum, harus ditolak.
Batal dan tidak sah segala penetapan yang dilakukan termohon terhadap pemohon Setya Novanto Petitum enam menurut hakim adalah berlebihan, karena dengan telah dinyatakan bahwa penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah maka dengan sendirinya segala penetapan yang dilakukan oleh Termohon kepada Setya Novanto tidak punya kekuatan hukum
KPK buka peluang jerat kembali Novanto
Seusai sidang, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi menghormati putusan hakim yang mengabulkan sebagian permohonan Novanto termasuk tidak sahnya penetapan Setya Novanto sebagai tersangka. Selanjutnya, putusan ini akan diaporkan kepada pimpinan KPK sekaligus akan mempelajari putusan secara menyeluruh dengan tim biro hukum ataupun penyidik dan penuntut umum untuk melakukan evaluasi.

Namun, Setiadi tampak tidak menyerah begitu saja. Merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 menyebut apabila dalam suatu sidang praperadilan penetapan tersangka dibatalkan, maka aparat penegak hukum bisa mengajukan kembali Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru kepada yang bersangkutan. Namun saat ditanya kembali mengenai hal ini Setiadi enggan menjelaskan lebih lanjut.

“Itu normatifnya. Masalah diambil langkahnya seperti apa, atau bagaimana, bukan kapasitas saya menjelaskan hal itu,” tuturnya.

Seperti diketahui, langkah menerbitkan sprindik baru ini pernah dilakukan KPK terhadap mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Setelah memenangkan praperadilan, tak lama kemudian penyidik kembali menetapkannya sebagai tersangka kasus korupsi PDAM. Di pengadilan tingkat pertama, dugaan korupsi Ilham Arief terbukti secara sah dan ia dihukum selama 4 tahun penjara. 

Pada tingkat banding vonis Ilham Arief bertambah menjadi 6 tahun penjara. Namun Mahkamah Agung pada tingkat kasasi hukumannya dikurangi menjadi 4 tahun penjara sesuai putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.  

Di sisi lain, Setiadi menilai hakim dianggap kurang cermat karena tidak mempertimbangkan berbagai bukti yang diajukan KPK. Meskipun begitu, ia tetap menghargai putusan tersebut. “Kami melihat ada beberapa dalil ataupun putusan dari hakim sendiri, ada beberapa bukti kami tidak dijadikan dasar,” kata Setiadi.

Dihubungi terpisah, salah satu kuasa hukum Novanto, Amrul Khair Rusin mengapresiasi putusan ini. Menurut Amrul, putusan Hakim Cepi sudah sesuai dengan harapan pemohon dan fakta persidangan. “Menurut kami permohonan yang kami ajukan memang sudah sepatutnya dikabulkan oleh hakim,” kata Amrul.

Saat ditanya pendapatnya jika KPK menetapkan kembali kliennya sebagai tersangka, Amrul justru mempertanyakan hal tersebut. “Itu urusan lain, apa nantinya bisa dipertanggungjawabkan atau tidak?”
Tags:

Berita Terkait