Terpenting, KPPU Harus Tetap Lembaga Independen
Revisi UU Larangan Praktik Monopoli:

Terpenting, KPPU Harus Tetap Lembaga Independen

Penguatan kelembagaan KPPU dimulai dari model rekrutmen secara berjenjang terhadap calon komisionerya dengan rumusan persyaratan calon komisoner KPPU secara detil.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung KPPU. Foto: RES
Gedung KPPU. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mesti tetap menjadi lembaga independen sebagaimana tertuang dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Demikian intisari dari pendapat sejumlah ahli dalam rapat dengar pendapat dalam pembahasan revisi UU No. 5 Tahun 1999 di Gedung DPR, Senin (2/10/2017).

Dosen hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Zainal Arifin Mochtar menilai KPPU, satu dari sekian lembaga yang lahir awal reformasi. Indepedensi KPPU sudah tertuang dalam Pasal 30 ayat (2) UU 5 Tahun 1999. Apabila revisi UU 5 Tahun 1999 ini lembaga KPPU di bawah presiden, artinya KPPU tidak lagi lembaga independen. “Pengaturan lembaga KPPU (seperti ini) mengalami kemunduran,” ujar Zainal Arifin Mochtar di Gedung Parlemen.  

Merujuk Pasal 30 ayat (1) menyebutkan, “Untuk mengawasi pelaksanaan UU ini dibentuk Komisi Pengawasan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi”. Ayat (2)-nyamenyebutkan,“Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain”. “KPPU harusnya independen dan tidak boleh ditempatkan di bawah pemerintah. Maknanya harus diartikan sebaik mungkin tanpa campur tangan pemerintah,” sarannya.

Baginya, lembaga independen idealnya tidak melayani permintaan presiden. Sebagai lembaga independen, KPPU mesti konsisten menjalankan Pasal 30 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999. “Semangat merevisi pengaturan (penguatan) KPPU dalam RUU mesti tidak mengubah independensi KPPU sebagaimana dalam Pasal 30 ayat (2) UU yang sudah ada,” kata dia. Baca Juga: Chandra M Hamzah: Dudukkan Kembali KPPU pada Posisi yang Benar

Menurutnya, independesi KPPU bisa dimulai dengan mekanisme rekrutmen calon komisioner secara berjenjang. Seperti kebanyakan sistem pergantian komisioner lembaga lain dilakukan serentak atau menyeluruh. Karena itu, Zainal mengusulkan sistem rekrutmen dilakukan secara berjenjang untuk menjaga kesinambungan ritme kerja antara komisioner sebelumnya dengan yang baru.

“Selain membatasi campur tangan rezim penguasa, pergantian komisioner secara berjenjang supaya menjaga kesinambungan,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara Refly Harun memiliki pandangan serupa. Merujuk UU No. 5 Tahun 1999, KPPU bertanggung jawab ke presiden, namun di lain sisi sebagai lembaga independen. Pola sistem seperti ini berpotensi menempatkan orang-orang dari unsur pemerintahan. ”Masalahnya, Panja berencana menempatkan KPPU berada di posisi pemerintah atau independen?”

“Kalau saya pribadi, saya ingin arahnya ke lembaga yang independen. Jadi posisinya sama dengan lembaga KPU, Bawaslu, KPK dan sebagainya. Saya kira ini fenomena kelembagaan modern,” ujarnya.

Persyaratan menjadi lembaga modern yakni adanya profesionalitas, independen, dan integritas. Karena itu, dia mengusulkan perlu kesepakatan bahwa KPPU sebagai lembaga independen yang tidak bertanggung jawab ke presiden, tetapi ke publik. Misalnya soal pengawasan dapat dilakukan oleh DPR. Sedangkan tanggung jawab keuangan dapat diberikan ke Badan Pemeriksa Keuangan. “Kalaupun, bertanggung jawab (juga) ke presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999, sifatnya administratif. Tetapi, pertanggungjawaban KPPU lebih dominan ke DPR,” kata dia.

Dia menilai pola rekrutmen calon komisioner perlu disederhanakan. Sebab, pola rekrutmen dengan membentuk tim seleksi terlampau panjang dan melelahkan. Karena itu, dia menyarakan agar seleksi calon komisioner KPPU diserahkan ke presiden. Nantinya, presiden menunjuk orang yang dianggap berintegritas, professional, independen dan amanah untuk diajukan ke DPR. Setelah itu, DPR yang kemudian memberi persetujuan atau menolak.

Namun demikian, Refli menegaskan agar revisi UU No. 5 Tahun 1999 mesti mengatur detil persyaratan menjadi calon komisoner KPPU agar orang yang ditunjuk presiden memiliki kualitas, kompetensi, dan mumpuni (dari sisi integritas). “Independen struktural tidak di bawah manapun. Kalau mau buat KPPU yang kuat, model rekrutmen melalui tim seleksi saya tidak setuju karena bisa berafiliasi politik, pencari kerjaan, dan lain-lain,” ujarnya. Baca Juga: Resmi Inisiatif DPR, Ini 7 Substansi RUU Larangan Praktik Monopoli  

Sanksi administratif
Sementara Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Mercubuana Prof Didik Rachbini menyorot soal peran KPPU sebagai wasit yang memiliki kewenagan untuk memeriksa dan memutus perkara persaingan usaha tidak sehat. Ia mengibaratkan dalam pertandingan sepakbola, KPPU sebagai wasit, sementara para pemain di lapangan diupayakan tidak melakukan pelanggaran (pidana).  

“Untuk memenangkan permainan dengan tidak sehat itulah diberikan sanksi administratif. Sementara bila digiring ke ranah hukum, dan memang terindikasi adanya dugaan pidana, KPPU dapat menyerahkan ke institusi penegak hukum. Tetapi, KPPU tetap sebagai wasit yudisial. Jadi harus ditimbang mana hukum mana ekonomi,” ujarnya. Baca Juga: Begini Penguatan KPPU Versi Komisi VI DPR

Selain sanksi administratif, dia menilai KPPU tetap diberi kewenangan memberi sanksi denda. Hal tersebut sebagaimana diatur Pasal 47 dan 48 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila pengaturan pemberian sanksi administratif dan denda tidak dituangkan dalam revisi UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinilainya sebagai kemunduran.

“Kalau tidak ada  tindakan adminsitratif, sama saja wasit tidak diberikan wewenang untuk memberikan sanksi pinalti atau tendangan hebas. Posisi wasit sama saja dengan penonton. Jadi ada satu kemunduran kalau tidak ada sanksi administratif dan denda,” katanya.
Tags:

Berita Terkait