Putusan KPPU Diusulkan Bersifat Final dan Mengikat
Revisi UU Larangan Praktik Monopoli:

Putusan KPPU Diusulkan Bersifat Final dan Mengikat

Menggunakan pendekatan yudisial dan nonyudisial dan merumuskan aturan putusan KPPU yang sanksinya administratif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Refly Harun bersama Zainal Arifin Mochtar dan Didik Rachbini saat memberi masukan revisi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Gedung DPR, Senin (2/10). Foto: RES
Refly Harun bersama Zainal Arifin Mochtar dan Didik Rachbini saat memberi masukan revisi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Gedung DPR, Senin (2/10). Foto: RES
Rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kembali digelar. Sejumlah ahli memberikan pandangan dalam rangka memberi masukan untuk memformulasikan rumusan pasal per pasal dalam revisi UU tersebut. Salah satunya, poin putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diusulkan mesti bersifat final dan mengikat.

Usul tersebut muncul dari pakar hukum tata negara Refly Harun. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) tersebut, Refly berpendapat kewenangan KPPU dalam memberi sanksi dalam putusan mesti bersifat final dan mengikat. Artinya, ketika sengketa persaingan usaha sudah diputuskan oleh KPPU tidak tersedia upaya hukum, sehingga bisa segera dilaksanakan para pihak.

Refly berpandangan rumusan klausul tersebut menggunakan pendekatan yudisial dan nonyudisial. “Tak ada upaya lain setelah putusan KPPU yang bersifat sanksi administratif, selesai. Jadi tidak boleh dilanjutkan ke pengadilan negeri. Kalau dilanjutkan ke pengadilan negeri, lembaga ini tidak ada gunanya. “Jadi, putusan final dan mengikat, tidak boleh lagi di-challenge ke Pengadilan Negeri,” ujarnya, Senin (2/10) kemarin di Gedung DPR.

Baginya, tidaklah tepat apabila KPPU ditempatkan di cabang kekuasaan eksekutif. Sebab, KPPU berdasarkan UU No. 5 Tahun 99 bersifat independen. Menariknya, KPPU dapat melakukan penyelidikan yang bersifat administratif hingga memutus perkara persaingan usaha dengan sanksi administratif dan denda. Kewenangan tersebut dinilainya luar biasa, sepertinya halnya Bawaslu yang dapat mendiskualifikasi peserta pemilu.

Persoalannya, kata dia, kewenangan mulai hulu hingga hilir yakni penyelidikan hingga putusan rawan abuse of power oleh pihak KPPU. Itulah sebabnya dalam rangka merekrut calon komisioner KPPU mesti orang yang amanah. Caranya, dengan memperketat persyaratan calon komisioner dalam Revisi UU No. 5 Tahun 1999. Baca Juga: Terpenting, KPPU Harus Tetap Lembaga Independen

“Dengan kewenangan yang besar dalam penegakan hukum administrative perlu diimbangi komisioner yang amanah dan berintegritas, jujur serta professional.”

Meski begitu, terhadap keberatan pihak atas sanksi denda, Refly berpandangan masih dapat diajukan ke pengadilan negeri. Bahkan, bila tidak puas atas putusan pengadilan tingkat pertama, masih dapat diajukan ke Mahkamah Agung. “Kalau pelanggaran administratif, semua selesai di KPPU saja,” tegasnya.

Dosen hukum tata negara Fakultas Hukum (FH) Univesitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar berpandangan kewenangan KPPU dalam penegakan administratif mulai hulu hingga ke hilir perlu didukung dengan penegakan hukum. Maka dari itu, perlu kontrol ketat dari DPR, misalnya. Menurutnya, sanksi yang diberikan KPPU mestinya didahului dengan fungsi pengawasan. Misalnya, terlebih dahulu memberikan teguran.

Menurutnya, dalam melaksanakan pemeriksaan (penyelidikan) yang dilakukan KPPU perlu adanya bantuan penegak hukum dalam hal-hal tertentu. Soalnya, ketika KPPU meminta data dan tidak diberikan, KPPU tidak dapat melakukan penyitaan. Sebab, kewenangan tersebut masuk dalam ranah KUHAP. Karena itu, dalam hal ini, KPPU mesti bekerja sama dengan lembaga penegak hukum. Baca Juga: Resmi Inisiatif DPR, Ini 7 Substansi RUU Larangan Praktik Monopoli

“Putusan MK terkait fungsi administratif harus bekerja sama dengan lembaga lain seperti kepolisian,” ujarnya. Baca Juga: MK Pertegas Kewenangan KPPU Bukan Sebagai Pro Justitia  

Hanya saja, menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM ini kewenangan penegakan hukum dengan sanksi adminsitratif bila dilakukan satu pihak mulai hulu ke hilir berpotensi abuse of power.

Karena itu, dibutuhkan konsep check and balance untuk kemudian dituangkan dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selain itu, mekanisme upaya hukum lanjutan atasa putusan KPPU perlu dipikirkan Panja. Sebab, praktiknya putusan KPPU kerap dibawa ke ranah gugatan perdata ke pengadilan.

Belum jelas
Lebih lanjut, Refly berpendapat aspek administratif maupun pidana dalam draf RUU belum jelas. Sebab, perbuatan yang diatur hanyalah sebatas pelanggaran adminsitratif. Sementara aturan pelanggaran terhadap pidana tidak diatur. Menurutnya, sanksi administratif dalam draf RUU tak akan membuat jera pihak perusahaan. Baca Juga: Isu Krusial Revisi UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Ia pun mengusulkan Panja mengundang para ahli hukum pidana untuk memberikan pandangan dan masukannya dalam rangka memperkaya RUU tersebut. “Kalau ada sanksi pidana bisa menjadi efek jera. Tapi harus melalui penegakan hukim yang konsisten. Apabila ada dugaan pelanggaran pidana, KPPU dapat melimpahkan perkaranya ke lembaga penegak hukum,” lanjutnya.

Baginya, sanksi denda pun dapat memberikan efek jera. Menurutnya denda dalam jumlah tertentu misalnya, dapat dilakukan banding ke lembaga peradilan. Ia mengusulkan banding terhadap putusan KPPU, khususnya keberatan denda yang diberikan KPPU, dapat langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai bentuk sengketa administratif.
Tags:

Berita Terkait