ICLA dan Akademisi Tolak Putusan MK Masuk Revisi UU Antimonopoli, Mengapa?
Utama

ICLA dan Akademisi Tolak Putusan MK Masuk Revisi UU Antimonopoli, Mengapa?

Revisi UU Antimonopoli diharapkan meluruskan ketidakjelasan dari rumusan yang berlaku saat ini.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: HOL
Gedung Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: HOL
Amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XIV/2016 terkait pengujian UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli) memperluas makna “pihak lain” dalam persaingan usaha tidak sehat juga mencakup “pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain”. Putusan MK juga menegaskan Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) tidak memiliki kewenangan penyelidikan dugaan tindak pidana sehingga KPPU bukanlah lembaga penegak hukum yang menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman.

Putusan yang mengabulkan sebagian permohonan PT Bandung Raya Indah Lestari selaku pemohon ini ditanggapi sejumlah kalangan praktisi dan akademisi antara lain Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA) dan Lembaga Pengkajian Persaingan & Kebijakan Usaha (LKPU) FH UI. Penafsiran MK yang memperluas pelaku persaingan usaha tidak sehat menandakan kesalahan memahami konsep serta semangat dari pengaturan UU Antimonopoli.

(Baca juga: MK Pertegas Kewenangan KPPU Bukan Sebagai Pro Justisia).

Ketua ICLA Asep Ridwan menilai penafsiran MK salah sasaran. Semangat UU Antimonopoli adalah memberikan kewenangan kepada KPPU menjatuhkan sanksi administratif bagi kalangan pelaku usaha pesaing yang menjalankan usahanya dengan praktek persekongkolan sehingga merugikan baik sesama pelaku usaha maupun konsumen. ”Dalam konteks kompetisi, persekongkolan yang dimaksud harusnya dalam konteks horizontal. Yang vertikal itu bukan ranah kompetisi, bukan kewenangan KPPU,” tegasnya saat diwawancara hukumonline.

Dengan memperluas penafsiran pihak lain, kata Asep, KPPU seolah berwenang menjatuhkan sanksi bagi pihak lain yang bukan pelaku usaha. Padahal dalam UU Antimonopoli jelas dibatasi kewenangan KPPU hanya kepada pelaku usaha. “Bukan berarti pihak terkait, katakanlah oknum yang terlibat persekongkolan, tidak bisa ditindak secara hukum, tapi bukan dalam ranah kewenangan KPPU dan UU Antimonopoli,” lanjut pria yang berprofesi sebagai corporate lawyer itu.

Asep menolak perluasan hasil penafsiran MK ini dimasukkan dalam revisi UU Antimonopoli karena akan menimbulkan resiko di kemudian hari. Misalnya, jika pelaku usaha lain sebagai pesaing adalah aparat Pemerintah, KPPU tak akan berwenang menjatuhkan sanksi. “Percuma juga, karena tidak punya kewenangan, seolah KPPU mengambil ranah lain,” ujarnya.

Ketua LKPU-FHUI Ditha Wiradiputra juga mengkritik perluasan makna ‘pihak lain’ dalam UU Antimonopoli. Menurut dosen FH Universitas Indonesia ini pihak lain yang dimaksud seyogiayanya adalah pelaku usaha lain. “Kalau pihak Pemerintah sudah bukan perkara persaingan usaha lagi, itu sudah perkara pidana, penyalahgunaan wewenang, korupsi. KPPU tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada pejabat Pemerintah yang terlibat persekongkolan,” jelasnya kepada hukumonline.

Menurut Ditha ada kesalahpahaman MK tentang fungsi KPPU dalam konsep UU Antimonopoli. ”Mahkamah Konstitusi tidak memahami secara baik hakikat dari UU Persaingan Usaha. Kewenangan yang diberikan kepada KPPU hanya untuk menghukum pelaku usaha. Jika Pemerintah terlibat ada mekanisme yang lain,” paparnya lagi.

Ditha menilai putusan MK yang memperluas makna “pihak lain” tidak mengubah apapun selain salah sasaran. Pasalnya KPPU hanya bisa membuat rekomendasi terhadap lembaga negara terkait jika ditemukan oknum Pemerintah ikut terlibat persekongkolan. “KPPU fokus aja lah dengan masalah persaingan usaha, jika ada oknum Pemerintah terlibat itu bukan soal persaingan usaha lagi,” tegas Ditha.

(Baca juga: KPPU Apresiasi Putusan MK Soal Uji Materi UU Persaingan Usaha).

Ditha juga berpendapat revisi UU Antimonopoli harus dipercepat agar regulasi persaingan usaha tidak semakin simpang siur. Revisi ini pun harus memastikan penafsiran MK tidak semakin menambah ruwet pemamahaman konsep persaingan usaha.

“Segera mengamandemen undang-undang agar lebih jelas, agar pihak lain tidak menafsirkan yang berbeda. Ini kan karena ada ketidakjelasan di dalam undang-undang,” lanjut Ditha.

Kelembagaan KPPU
Asep dan Ditha berbeda pendapat mengenai konsep kelembagaan KPPU. Dalam putusannya,  MK menyatakan “fungsi KPPU sebagai lembaga negara bantu merupakan bagian dari lembaga negara utama di ranah eksekutif”. Pertimbangan ini dibuat MK dalam rangka memutus bahwa penyelidikan yang dilakukan KPPU bukanlah pro justitia.

(Baca juga: Mau Dibawa Kemana Upaya Keberatan atas Putusan KPPU?).

Asep menilai pertimbangan itu sudah benar dan mempertegas kedudukan KPPU sebagai bagian dari lembaga administrasi yang tidak seharusnya berperan sebagai pemutus perkara. Berkaitan dengan hukum acara persaingan usaha, ICLA menilai KPPU tidak tepat menjadi lembaga yang memutus perkara persaingan usaha. “Persidangan yang sesungguhnya tetap di pengadilan,  karena KPPU hanya sebatas pemeriksaan biasa seperti halnya lembaga pajak,” kata Asep.

Sebaliknya, Ditha berpendapat KPPU adalah bukan bagian dari eksekutif. “Saya melihat hakim MK kurang memahami masalah kedudukan KPPU, latar belakang pembentukan KPPU,” jelas Ditha.

Dalam pendekatan teoritis, jelas Ditha, KPPU adalah lembaga independen yang tidak harus diklasifikasikan dalam ranah ekskutif, legislatif, atau yudikatif. “Itu pendekatan yang lama. Dia bisa tidak harus masuk ke salah satu kamar itu,” lanjutnya.
Tags:

Berita Terkait