OJK Akan Atur Standardisasi Perjanjian Polis Asuransi
Utama

OJK Akan Atur Standardisasi Perjanjian Polis Asuransi

Selama ini pengaturan standar perjanjian atau kontrak masih terbatas pada larangan memuat klausula baku dalam perjanjian antara perusahaan di sektor jasa keuangan dengan nasabah atau konsumen.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK di Jakarta. Foto: RES
Gedung OJK di Jakarta. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mempertimbangkan untuk mengatur standar kontrak atau perjanjian polis asuransi. Hal tersebut dilakukan menyusul masih ditemukannya kontrak antara perusahaan asuransi dengan konsumen yang tidak seimbang.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan dan Edukasi Konsumen OJK, Tirta Segara, mengatakan pihaknya mempertimbangkan untuk menyeragamkan kontrak atau perjanjian polis asuransi agar tercipta standar kontrak yang seimbang antara perusahaan asuransi dengan nasabah atau konsumen. Selama ini OJK telah memiliki perangkat hukum yang mengatur kontrak produk jasa keuangan terkait larangan penyusunan klausula baku.

“Secara umum untuk semua produk keuangan OJK sudah mewajibkan perjanjian baku harus dijelaskan, itu harus betul-betul dijelaskan kepada masyarakat,” kata Tirta di Jakarta Rabu (4/10).

Terlepas dari persoalan itu, OJK berharap agar konsumen lebih kritis ketika menggunakan produk-produk jasa keuangan atau setidaknya mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam kondisi tertentu. Sebetulnya, mengatur industri agar memiliki standar kontrak yang seragam bukanlah hal yang mudah karena antar pelaku usaha jasa keuangan satu dengan lainnya selalu memiliki karakteristik yang berbeda dalam membuat suatu produk. Namun, Tirta tidak ingin hal itu menjadi alasan bagi pelaku usaha jasa keuangan untuk tidak mengedepankan prinsip perlindungan kepada konsumen.

“Konsumen harus paham risiko tapi kalau soal perlindungan OJK akan berikan yang optimal dan fasilitasi konsumen. Yang melakukan perikatan konsumen dengan jasa keuangan, OJK akan fasilitasi kalau ada sengketa,” kata Tirta.

Untuk diketahui, mantan Direktur Utama PT Asuransi Allianz Life Indonesia Joachim Wessling dan Manajer Claim PT Asuransi Allianz Life Indonesia Yuliana Firmansyah telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya terkait dugaan tindak pidana penipuan atas penolakan klaim asuransi.

Kasus ini bermula dari laporan dua nasabah asuransi Allianz, Ifranius Algadri dan Indah Goena Nanda. Mereka melaporkan dugaan penipuan terkait dengan penolakan klaim biaya rumah sakit oleh Allianz ke Polda Metro Jaya pada bulan Maret dan April 2017. Keduanya mengajukan klaim yang ditolak Allianz, padahal menganggap telah memenuhi persyaratan sesuai dengan buku polis. Allianz menolak membayar klaim dengan memberikan surat klarifikasi bahwa nasabah perlu memberikan catatan medis lengkap dari rumah sakit. Padahal, syarat surat klarifikasi tidak tercantum dalam ketentuan buku polis.

Nasabah akhirnya memproses permintaan catatan medis ke rumah sakit tempat nasabah menjalani perawatan. Namun, pihak rumah sakit menolak memberikan catatan medis dengan alasan catatan medis merupakan milik rumah sakit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis.

"Allianz senantiasa menghormati hak para nasabahnya, terutama terkait dengan manfaat klaim. Kami selalu bertindak sesuai dengan ketentuan di dalam polis serta hukum dan peraturan yang berlaku," kata Head of Corporate Communications Allianz Indonesia Adrian D.W dalam pernyataan tertulis.

OJK sendiri masih mendalami hal ini. Hasil tinjauan dan evaluasi dari proses hukum yang harus diselesaikan Allianz Life itu akan menjadi dasar sanksi dan keputusan OJK sebagai regulator industri jasa keuangan. OJK tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan terhadap Allianz Life mengingat keputusan tersebut akan sangat berdampak pada industri asuransi.

“Kasus Allianz pasti kita bicara dengan industrinya. Tapikan ini konsumen sudah memilih pengaduan ke Bareskrim, kalau ranah hukum bukan wilayah OJK. OJK juga lakukan market conduct. Kadang-kadang pelaku usaha menciptakan produk memiiki fitur yang beda dengan yang lain. Jaid kalau standarisasi agak sulit tapi pengawasan market conduct meskipun fiturnya beda, dia harus jelaskan ke konsumen sebelum mereka membeli,” kata Tirta.

Sementara itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak OJK agar membuat aturan terkait standar perjanjian polis asuransi antara konsumen dan perusahaan asuransi. Dengan aturan seperi itu, YLKI menilai perusahaan asuransi tidak akan memiliki peluang menyerimpung hak konsumen dengan perjanjian yang tidak fair. Pasalnya YLKI khawatir kasus Allianz menjadi preseden buruk dan negative campaign bagi sektor asuransi sehingga membuat masyarakat Indonesia malas berasuransi.

“OJK harus secara pro aktif melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa tidak adanya unfair contract term dalam praktik di industri asuransi yang sangat merugikan konsumen,” kata Ketua YLKI, Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya akhir September kemarin.

Merujuk data YLKI, pengaduan asuransi menduduki peringkat ke-7 atau sebanyak 32 kasus berdasarkan yang diterimanya. Lebih dari separuh, tepatnya 53%  klaim konsumen ditolak oleh perusahaan asuransi. Alasan penolakan tersebut mayoritas karena informasi produk yang tidak jelas dan pelayanan saat melakukan klaim yang berbelit-belit. Bagi YLKI, fenomena tersebut menjadi ‘image’ bahwa klaim terhadap asuransi selalu dipersulit dan akhirnya ditolak.

(Baca Juga: Tak Cuma Konsumen yang Rugi Karena Klausula Baku)

Terkait dengan langkah yang diambil oleh nasabah Allianz, YLKI menilai langkah tersebut adalah langkah yang tepat. Kata Tulus, langkah tersebut telah sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen), konsumen berhak melakukan upaya hukum secara perdata dan/atau menuntut secara pidana jika merasa dirugikan pelaku usaha. Begitupun sebaliknya, pelaku usaha yang diduga melanggar hak konsumen dapat dikenai sanksi perdata, pidana, dan administrasi berupa pencabutan izin.

“Bagi konsumen yang ingin meng-apply produk jasa asuransi sebaiknya berhati-hati, membaca dengan teliti kontrak standarnya, bertanya pada orang lain dan kalau perlu ada pendampingan. Asuransi adalah produk yang spesifik dan rumit, sementara mayoritas mengalami asimetri produk jasa asuransi. Sehingga konsumen tidak terkena ‘jebakan betmen’ dalam bertransaksi dengan perusahaan asuransi,” kata Tulus.
9 Klausul yang Dilarang dalam Perjanjian Baku
 
1. Dilarang memuat klausula eksonerasi/eksemsi yaitu yang isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban;
2. Penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam Perjanjian Baku yang memiliki indikasi penyalahgunaan keadaan. Contoh terhadap kondisi ini misalkan memanfaatkan kondisi Konsumen yang mendesak karena kondisi tertentu atau dalam keadaan darurat dan secarasengaja atau tidak sengaja PUJK tidak menjelaskan manfaat, biaya dan risiko dari produk dan/atau layanan yang ditawarkan;
3. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUJK kepada Konsumen;
4. Menyatakan bahwa PUJK berhak menolak pengembalian uang yang telah dibayar olehKonsumen atas produk dan/atau layanan yang dibeli;
5. Menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUJK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan;
6. Mewajibkan Konsumen untuk membuktikan dalil PUJK yang menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen bukan merupakan tanggung jawab PUJK;
7. Memberi hak kepada PUJK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan layanan;
8. Menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada peraturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak oleh PUJK dalam masa Konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya; dan/atau
9. Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUJK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli olehKonsumen secara angsuran

 
Berdasarkan UU Perlindungan Kosumen, pelaku usaha dilarang menggunakan klausula baku dalam perjanjian standar. Menurut Tulus, tingginya sengketa konsumen di bidang asuransi dan berujung pada ditolaknya klaim lebih banyak dipicu adanya kontrak standar yang didesain tidak adil oleh perusahaan asuransi. OJK sendiri telah menerbitkan SEOJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku yang pada prinsipnya melarang pelaku usaha jasa keuangan memuat klausul dalam perjanjian yang tidak memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran sehingga merugikan nasabah atau konsumen.

Staf Pengaduan dan Hukum YLKI, Abdul Basith, menilai OJK semestinya memastikan substansi kontrak yang dibuat dan disetorkan oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) dalam hal ini khusus untuk perusahaan asuransi agar mengetahui betul substansi yang dimuat dalam perjanjian baku mereka. Menurut Basith, OJK juga dapat meminta pelaku usaha asuransi untuk memberikan ringkasan kontrak polis yang isinya memuat hak dan kewajiban serta manfaat maupun risiko dari pemanfaatan produk tersebut.

“Dengan demikian konsumen akan dipermudah dalam membaca isi kontrak tersebut dan tidak ada lagi alasan konsumen tidak mengetahui risiko dalam memanfaatkan produk jasa asuransi tersebut,” kata Basith, Rabu (4/10).

Tags:

Berita Terkait