Konsistensi Pemerintah Soal Penerimaan Negara Jadi Perhatian Pembahasan RPP Pajak Usaha Minerba
Berita

Konsistensi Pemerintah Soal Penerimaan Negara Jadi Perhatian Pembahasan RPP Pajak Usaha Minerba

Dengan adanya penurunan PPh, harus dibarengi dengan kenaikan jenis pajak atau penerimaan negara yang lain.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang berisi tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral. Rencananya, beleid tersebut akan menjadi pegangan untuk stabilitas investasi bagi para investor, salah satunya PT Freeport Indonesia. 

Draft RPP tersebut menyatakan bahwa RPP dibuat untuk pemegang Kontak Karya (KK) mineral logam yang belum berakhir dan berubah bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi. Pasal ini ditujukan untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) yang beberapa waktu lalu telah menyelesaikan negosiasinya dengan Pemerintah.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) menilai ketentuan dalam RPP yang kembali memberikan keringanan pajak bagi pemegang Kontak Karya mineral logam yang belum berakhir dan berubah bentuk pengusahaan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi, jelas merupakan “fasilitas” bagi Freeport.

Menurut Bisman, selama ini Pemerintah telah banyak memberikan keringanan bagi Freeport yang kesemuanya berdampak pada ketidakpastian terhadap penegakan Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. “Contohnya izin ekspor dan janji membangun smelter yang tidak kunjung konkrit,” ujar Bisman Kepada hukumonline, Kamis (5/10), di Jakarta.

Dalam Pasal 14 RPP mengatur ketentuan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Apabila RPP ini sah menjadi PP, maka tarif Pajak Penghasilan badan (PPh) Freeport hanya menjadi 25%. Itu berarti, PPh Freeport mengalami penurunan jika dibandingkan dengan PPh badan yang ditanggung Freeport dalam Kontrak Karya yakni sebesar 35%. (Baca Liputan Khusus: Meneropong Bisnis Tambang Pasca Terbit PP Minerba)

Bisman menekankan dengan adanya penurunan PPh, harus dibarengi dengan kenaikan jenis pajak atau penerimaan negara yang lain. “Sehingga harus dipastikan secara total penerimaan negara dari Freeport tidak boleh turun,” ujarnya.

Apabila keringanan pajak ini secara umum membuat penerimaan negara dari Freeport menjadi turun, maka ini tidak sesuai dengan hasil perundingan dan kesepakatan final pemerintah dan Freeport yang diumumkan oleh Menteri ESDM pada 29 Agustus lalu. Salah satu poin kesepakatan tersebut adalah mengenai stabilitas penerimaan negara.

“Artinya apabila ada negosiasi atau kebijakan baru, maka penerimaan negara secara agregat harus lebih besar atau tidak boleh turun,” tegas Bisman.

Lebih lanjut menurut Bisman, ketentuan dalam RPP ini jika menyebabkan penerimaan negera mengalami penurunan, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 169 UU Minerba yang menyebutkan bahwa renegosiasi hanya bisa dilakukan apabila merupakan peningkatan penerimaan negara. (Baca Juga: Dinilai Masih Rendah, Pemerintah Kejar Penerimaan dari Perusahaan Minerba)

“Apabila dalam RPP tersebut penerimaan menjadi turun jelas merupakan pelanggaran UU Minerba,” tegasnya.

Selanjutnya, dalam RPP diatur ketika sudah berubah status dari KK menjadi IUPK, Freeport juga harus membayar bagian negara sebesar 10 persen dari keuntungan bersih atau setelah dikurangi PPh. Bagian negara ini dibagi menjadi dua untuk pemerintah pusat sebesar 4 persen dan pemerintah daerah 6 persen.

Rinciannya adalah, bagian Pemerintah Provinsi sebesar 1%, bagian Pemerintah Kabupaten Kota atau penghasil mendapatkan 2,5%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi mendapatkan bagian 2,5%. Dengan demikian, tidak ada ketetapan pajak yang lebih besar yang akan ditanggung oleh Freeport Indonesia dalam RPP ini. “Jadi Freeport tetap menyetorkan 35 persen kepada negara,” terang Bisman.

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) telah memfasilitasi pelaksanaan Rapat Koordinasi (Rakor), Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Rakor tersebut bertujuan untuk mengkaji RPP secara komprehensif agar selaras dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional sektor mineral. Selain itu, Rakor juga bertujuan untuk memfasilitasi Kementrian/Lembaga terkait untuk menggali masukan, saran, serta perbaikan agar RPP yang dihasilkan dapat mengakomodir setiap saran dan masukan. Hal ini disampaikan oleh Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Mineral, Energi dan Non Konvensional-Kemenko Maritim, Amalyos sebagaimana dikutip dari laman resmi Kemenko Maritim.

Menurut Amalyos, latar belakang RPP ini juga berangkat dari adanya pokok-pokok kesepakatan antara pemerintah dengan Freeport, yang secara umum menyepakati perpanjangan operasi produksi Freeport, pembangunan smelter, jaminan stabilitas penerimaan negara dan persetujuan Freeport untuk melakukan divestasi saham.

Adapun substansi pengaturan RPP ini meliputi Pengaturan Kewajiban Perpajakan dan PNBP untuk IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), KK (Kontrak Karya), KK yang berakhir menjadi IUPK Operasi Produksi (OP) perpanjangan, serta KK sebelum berakhir beralih menjadi IUPK OP.

“Urgensi pembentukan RPP ini antara lain karena perlunya ketentuan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul di bidang usaha pertambangan minerba berupa perlakuan perpajakan atau PNBP bagi KK yang beralih menjadi IUPK OP, perlunya memberikan kepastian kebijakan perpajakan atau PNBP bagi pelaku usaha di bidang pertambangan minerba serta perlunya mendorong kegiatan peningkatan nilai tambah hasil pertambangan minerba agar memberikan manfaat yang lebih optimal bagi negara, dengan tetap memperhatikan iklim investasi yang kondusif,” pungkas Amalyos.

Tags:

Berita Terkait