Putusan MK Selaras dengan Revisi UU Larangan Praktik Monopoli Usaha
Berita

Putusan MK Selaras dengan Revisi UU Larangan Praktik Monopoli Usaha

Dalam perumusan revisi sejumlah pasal, Komisi VI DPR bakal menyesuaikan dengan putusan MK, UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1999 agar tidak melanggar secara yuridis.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Peran KPPU termasuk yang akan diperkuat dalam RUU Persaingan Usaha. Foto: RES
Peran KPPU termasuk yang akan diperkuat dalam RUU Persaingan Usaha. Foto: RES
Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerbitkan putusan pengujian sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktik Monopoli Usaha). Khususnya, terkait aturan tindakan penyelidikan dan pengawasan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dinyatakan bukan tindakan projustisia, seperti hal aparat penegak hukum.   

Dalam putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 itu, frasa “penyelidikan” sebagaimana dalam Pasal 36 huruf c, d, h, dan i serta Pasal 41 ayat (1) dan (2) UU Larangan Praktik Monopoli Usaha  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan “pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan” (bukan sebagai tindakan projustisia).  

Begitu pula dengan frasa ‘pihak lain’ dalam Pasal 22, 23 dan 24 UU Larangan Praktik Monopoli Usaha bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “dan/atau pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain.”

Menanggapi putusan MK, Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal mengapresiasi putusan ini. Menurutnya, uji materi ini memang diajukan oleh pemenang tender yang ujungnya dibatalkan oleh keputusan KPPU. Istilah “pihak lain” dalam Pasal 22, 23, dan 24 dipandang terlampau luas. Sehingga, KPPU pun dinilai berpotensi melakukan abuse of power. Baca Juga: Putusan KPPU Diusulkan Bersifat Final dan Mengikat

Terhadap permohonan ini, kata Hekal, MK telah menerima sebagian permohonan pemohon dengan menafsirkan ‘pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain’. Baginya, putusan MK ini menjadi lebih terang mengenai frasa “pihak lain”. “Faktanya selama ini KPPU dalam implementasi Pasal 22, 23 dan 24 khususnya frasa pihak lain diterjemahkan sebagai pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain,” ujarnya kepada Hukumonline, Jumat (6/10/2017).

Terkait penyelidikan KPPU, kata dia, putusan MK ini sudah tepat. Sebab, KPPU dalam menjalankan kewenangan penyelidikan bukan dalam kapasitasnya sebagai tindakan projustisia. Sebaliknya, penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU adalah penyelidikan yang sifatnya administratif. Namun, apabila terdapat unsur pidana, KPPU dapat menyerahkan ke pihak kepolisian untuk dilakukan penyelidikan dalam upaya penegakan hukum pidana. “Memang selama ini faktanya seperti itu,” ujarnya.

Lebih lanjut, politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu berpandangan putusan MK telah sesuai/selaras dengan revisi UU No. 5 Tahun 1999. Seperti diketahui, komisi yang dipimpinnya tengah membahas revisi UU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selama ini, Komisi VI meminta masukan dan pandangan dari sejumlah ahli dalam rangka memperkaya dalam penyusunan draf RUU ini.

Wakil Ketua Komisi VI lain Azam Azman Natawijana menilai putusan MK tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, putusan MK hanya mempertegas kewenangan KPPU dalam penyelidikan bukanlah tindakan projustisia. Begitu pula dengan penafsiran frasa “pihak lain” semakin diperjelas. Baca Juga: Terpenting, KPPU Harus Tetap Lembaga Independen

“Putusan MK luar biasa. Frasa ‘pihak lain’ dipertegas, karena selama ini banyak kebijakan sesuai dengan putusan MK terkait frasa ‘pihak lain’. Karena itu, kita ingin memperkuat lembaga ini,” ujar politisi Partai Demokrat itu.

Anggota Komisi VI DPR, M.R Ihsan Yunus menambahkan prinsipnya putusan MK sudah sejalan dengan RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang sedang dibahas di komisinya. Menurutnya, penyusunan draf RUU pun bakal mengacu dan disesuaikan dengan putusan MK, UUD Tahun 1945, dan UU No. 5 Tahun 1999.

“Jadi nanti kita sesuaikan (dengan putusan MK, red) supaya serasi dan jangan sampai melanggar secara yuridis,” ujarnya.

Ihsan berpendapat memang dalam draf yang ada tidak mengatur kewenangan penyelidikan KPPU sebagai tindakan projustisia sebagai sebuah sistem quasi judisial. Karena itu, kewenangan penyelidikan KPPU bakal disesuaikan dengan putusan MK tersebut.

“Iya jadi (putusan MK) sejalan. Cuma memang kalau ada beberapa yang dubah sedikit. Contohnya, kalau kita sepakat ini administratif, maka kalau ada pelanggaran pidana, maka kita serahkan kepada penegak hukum,” kata Ihsan. Baca Juga: ICLA dan Akademisi Tolak Putusan MK Masuk Revisi UU Antimonopoli, Mengapa?

Seperti diketahui, uji materi Pasal 22, 23, 24, Pasal 36 huruf c, d, h, i, Pasal 41 ayat (2) serta Pasal 44 ayat (4) dan (5) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diajukan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL). Awalnya, PT BRIL telah memenangkan tender pengadaan barang dan jasa pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah di Bandung.

Namun, PT BRIL merasa dirugikan dengan terbitnya keputusan KPPU No. 12/KPPU-L/2015 yang membatalkan proses pelelangan badan usaha. Padahal, tender yang dimenangkan pemohon dinilai telah dilakukan secara terbuka, jujur dan fair. Pemohon mendalilkan pasal-pasal a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas kedudukan KPPU. Apakah sebagai lembaga administratif yang hanya berwenang melakukan pemeriksaan secara administratif atau sebagai penegak hukum pidana yang berwenang melakukan penyelidikan.

Karena itu, pemohon menganggap frasa “penyelidikan dan atau pemeriksaan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Anti Monopoli tidak memberikan kepastian hukum karena seolah-olah KPPU ataupun unit kerja di dalamnya mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan. Pemohon menilai ketidakjelasan tersebut dapat memberi celah hukum, karena KPPU dapat serta merta menjadikan hasil pemeriksaan administratif sebagai hasil penyelidikan.

Bagi Pemohon, ketidakjelasan tersebut juga berpotensi memberi ruang kepada KPPU secara luas menjalankan fungsi penyelidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi ajudikasi (kehakiman) sekaligus. Karena itu, menurutnya, KPPU tidak berwenang berdasarkan UU untuk menjalankan ketiga fungsi tersebut, kecuali hanya sebatas melakukan pemeriksaan administratif terhadap pelaku usaha.
Tags:

Berita Terkait