Dua ‘Sumbangan Pemikiran’ Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung
Resensi

Dua ‘Sumbangan Pemikiran’ Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung

Sebagai orang yang sekitar 45 tahun menjadi hakim, penulis punya pengalamat melihat dan menghadapi problem penyelesaian eksekusi putusan perdata.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kedua buku yang ditulis dan dihimpun oleh Mohammad Saleh. Foto: MYS
Kedua buku yang ditulis dan dihimpun oleh Mohammad Saleh. Foto: MYS
Profesi hakim itu sangat dekat dengan nalar dan kerunutan berpikir. Seorang hakim juga dituntut untuk bisa menulis secara logis agar putusan yang dihasilkan benar-benar masuk akal, dalam arti pertimbangan dan amar bisa sejalan. Jadi, pekerjaan sehari-hari seorang hakim mendorong mereka terbiasa menulis dan mungkin menghasilkan karya. Pengalaman mereka selama puluhan tahun menjalankan tugas adalah referensi yang kaya untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Tersebutlah dalam sejarah Mahkamah Agung antara lain nama R. Subekti (14 Mei 1914-9 Desember 1992), mantan Ketua Mahkamah Agung yang buku-bukunya masih dipakai sampai sekarang. Subekti, hakim bergelar profesor, berjasa menerjemahkan Burgerlijk Wetboek (BW) seperti yang sekarang ada di tengah-tengah pengguna. Atau, nama M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, yang menghasilkan banyak buku bermutu. Tradisi menulis buku itu sebenarnya sesuatu yang baik bagi seorang hakim, bukan saja terus melatih kemampuan menulis tetapi juga menambah pengetahuan.

Pada periode dua tahun terakhir, nama Mohammad Saleh patut disebut. Pria asal Pamekasan, Jawa Timur, itu menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial hingga 1 Mei 2016. Sebelum pensiun sebagai hakim agung, Saleh berhasil meraih gelar profesor bidang hukum perdata dari Universitas Airlangga, Surabaya. Dan, di toko buku karyanya bisa disimak.

(Baca juga: M. Saleh Terpilih Menjadi Waka MA Yudisial).

Kali ini, ada dua buku yang perlu dibaca. Pertama, buku Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Berbiaya Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata. Cetakan ketiga buku ini diterbitkan April 2016. Buku terbitan Graha Cendekia ini, seperti tertulis pada halaman terakhir, sebenarnya ditulis pada Agustus 2006. Saat itu Saleh masih hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Jakarta. “(Buku ini) dipersembahkan untuk turut memberikan sumbangan pemikiran bagi penegakan hukum di Indonesia yang lebih berkeadilan dan berpihak pada rakyat kecil,” tertulis pada bagian ‘Tentang Penulis’.

Buku kedua adalah Beberapa Putusan Mahkamah Agung dalam Tingkat Peninjauan Kembali Perkara Tata Usaha Negara. Buku setebal 509 halaman ini juga diterbitkan pada tahun 2016, meskipun nama penerbitnya tak tertera dengan jelas. Isinya, salinan putusan 11 perkara TUN pada tingkat peninjauan kembali (PK) yang diputus majelis hakim pimpinan Saleh. Tujuan menghimpun putusan ini adalah ‘referensi bagi para hakim maupun penasehat hukum dan para pencari keadilan dalam perkara Tata Usaha Negara’. Selain salinan putusan, buku ini memuat kaidah hukum yang bisa ditarik dari kesebelas perkara yang telah diputus Saleh dan hakim agung lain.
Profil Dua Buku Karya Prof. Dr. Mohammad Saleh, SH. MH
Judul: Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara PerdataBeberapa Putusan Mahkamah Agung dalam Tingkat Peninjauan Kembali Perkara Tata Usaha Negara.
Penerbit: Graha Cendekia, Bogor Penerbit: tak tercatat
Terbit: cet-3, April 2016 Terbit: Jakarta, 2016.
272 halaman 509 halaman
Perbedaan kedua karya ini jelas. Materi buku kedua, yakni putusan-putusan tersebut, bukanlah karya penulis seorang. Melainkan hasil olah pikir semua anggota majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Ada perkara yang diputus bersama hakim agung Irfan Fachrudin dan Supandi, ada pula bersama hakim agung Yosran dan Is Sudaryono. Sebaliknya buku pertama, bisa disebut sebagai hasil pengembaraan intelektual Mohammad Saleh.

Salah satu asas peradilan yang dikenal dan dituangkan ke dalam perundang-undangan adalah sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan jelas ‘Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan’. Penerapan asas ini penting untuk dikaji karena penyelesaian perkara perdata umumnya memakan waktu lama, sehingga banyak pihak yang dirugikan. Salah satu solusi terhadap masalah ini adalah putusan serta merta (executie bij voorraad) sepanjang persyaratannya terpenuhi.

(Baca juga: Syarat Agar Eksekusi Putusan Dapat Dijalankan Kepada Pihak Ketiga yang Menguasai Barang Terperkara).

Tetapi pelaksanaan eksekusi serta merta ini tak semudah membalik telapak tangan. Berdasarkan pengalaman penulis buku selama puluhan tahun sebagai hakim, eksekusi putusan perdata sering tertunda karena banyak sebab. Kadang ada perlawanan, objek eksekusi tidak sama dengan yang ada di lapangan, kadang dinyatakan non-executable. Ada pula karena putusan pengadilan perdata bertentangan dengan perkara pidana atau putusan perkara TUN (hal. 15-16). Untuk putusan TUN, bisa dibaca buku kedua dimaksud.

Permohonan penundaan eksekusi adalah sebab lain yang menyebabkan eksekusi putusan perkara perdata menjadi lama. Ada beragam alasan pemohon, kadangkala alasannya tidak relevan. Dalam konteks itu penulis berpendapat penundaan itu tak bisa pukul rata, harus kasuistis. Sayangnya, tidak ada patokan untuk menunda eksekusi. M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, seperti dikutip penulis, memberi petuah: jangan terlampau boros mengabulkan penundaan eksekusi tanpa alasan yang sangat mendasar. Sebaliknya, jangan terlampau kikir mengabulkan permohonan penundaan jika suatu eksekusi menimbulkan perkosaan terhadap kebenaran, hukum, dan keadilan (hal. 158).

Penulis buku ini memuat beberapa usulan yang bisa dibaca pada setiap bab. Secara khusus, penulis berpendapat solusi atas problem peradilan cepat sederhana dan biaya ringan adalah mediasi, putusan serta merta,dan pembatasan perkara perdata yang dapat dikasasi. Perbaikan regulasi hukum acara di masa mendatang berkali-kali disinggung penulis. Sebenarnya ada bagian dari gagasan penulis sudah diakomodasi, semisal perbaikan pengaturan media (Perma No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dan pembatasan perkara perdata yang dapat dikasasi.

Tetapi penting dicatat, peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan tak hanya dalam proses penyelesaian perkara sampai putusan, tetapi juga harus diwujudkan dalam pelaksanaan putusan pengadilan. Buku ini menjelaskan beberapa poin pandangan penulis tentang apa yang bisa dilakukan agar eksekusi putusan perdata juga bisa dilaksanakan dengan cepat sederhana, dan biaya ringan. Apa saja poinnya?

Membaca buku ini dengan pelan-pelan salah satu cara menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Yang jelas, setelah membaca buku ini, kita akan mendapatkan beberapa usul penulis mengenai perbaikan hukum acara perdata ke depan. Yang mungkin tak terjawab pasti: apa sih ukuran sederhana, cepat, dan biaya ringan itu?

Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait