Perpres Ini Dianggap Bisa Merugikan Masyarakat Adat, Mengapa?
Berita

Perpres Ini Dianggap Bisa Merugikan Masyarakat Adat, Mengapa?

Peluang masyarakat adat mendapat pengakuan dinilai kian dipersempit.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah memuat target-target yang hendak dicapai di sektor kehutanan dan pertanahan. Salah satu yang menjadi sasaran adalah perhutanan sosial yang meliputi pula hutan adat. Pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mendukung perhutanan sosial.

Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Perpres 88) termasuk salah satu kebijakan terbaru yang diterbitkan. Perpres ini terbit dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan.

Perpres ini berusaha mengatur mekanisme penyelesaiannya. Selain itu, beleid yang diteken Presiden Jokowi pada 6 September 2017 ini dibuat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-IX/2011, putusan No. 45/PUU-IX/2011, putusan MK No. 35/PUU-X/2012, dan putusan MK No. 95/PUU-XII/2014.

(Baca juga: Ada Kendala dalam Pelaksanaan Perhutanan Sosial).

Namun sejumlah aktivis yang peduli masalah adat melihat potensi dampak merugikan pada Perpres 88 terhadap penetapan wilayah adat. Peneliti pada Program Analisis Hukum dan Data Perkumpulan HuMa, Agung Wibowo, menilai Perpres No. 88 malah memudahkan masyarakat adat mudah terusir dari wilayah adatnya (resettlement) dengan dalih penyelesaian sengketa penguasaan hutan.

Misalnya, menghambat pelaksanaan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) No. 32 Tahun 2015 karena ketentuan dalam Perpres tidak memberi kepastian hukum bagi penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk hutan adat. Agung menjelaskan walau Perpres menjadikan hutan adat menjadi bagian dari pola penyelesaian, tapi tidak mengatur lebih lanjut.

Masalahnya, penguasaan masyarakat adat atas hutan secara turun temurun tak akan diakui kalau belum ada Perda tentang penetapan masyarakat itu sebagai masyarakat hukum adat. “Perpres ini memperlambat proses penetapan hutan adat. Harusnya proses yang selama ini berjalan harus diperbaiki, bukan malah dipersulit dan diperumit,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (11/10).

Sebelum Perpres 88 tersebut sudah ada sejumlah regulasi yang dikeluarkan. Misalnya,  Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/MENHUT- II/2012 juncto Peraturan menteri Kehutanan No. 62/Menhut-II/2013 tentang Perubahan Atas Permenhut No. P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan; Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 10 Tahun 2016  tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.

(Baca juga: Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Hutan Diteken, Begini Isinya).

Ada juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak, dan PermenLHK No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial. Melalui regulasi-regulasi ini proses perizinan, kemitraan dan hutan adat sudah berjalan, meskipun belum sempurna.

Kepala Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan AMAN, Muhammad Arman, mencatat ada 8,2 juta hektar wilayah adat yang terdaftar di Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Badan Restorasi Gambut (BRG). Dari jumlah itu sekitar 1,62 juta hektar berpotensi mengalami pemindahan karena berada di kawasan konservasi.

Perpres 88 mengamanatkan semua kegiatan terkait inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam Perpres tersebut. Menurut Arman pengaturan sebagaimana perintah Perpres menimbulkan ketidakjelasan dan menghambat proses pengukuhan kawasan hutan, perhutanan sosial, penetapan hutan adat, dan penetapan hak komunal.

Arman berpendapat sekalipun Perpres itu lebih tinggi ketimbang Peraturan Menteri, tapi menghilangkan pembelajaran baik dari proses yang telah berjalan. Syarat pengakuan Perpres terhadap masyarakat hukum adat yakni mengantongi penetapan berupa Peraturan Daerah dan bukti penguasaan tanah menutup proses pengajuan wilayah adat yang sedang berjalan. Padahal, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengatur pengakuan itu bisa dilakukan oleh kepala daerah.

“Perpres menutup peluang masyarakat hukum adat untuk mendapat pengakuan melalui instrumen hukum selain Perda seperti Keputusan  Kepala Daerah dan Sertifikat atau SK Hak Komunal,” pungkas Arman.

Pandangan kedua aktivis sebenarnya tak sinkron dengan apa yang pernah disampaikan Presiden Jokowi. September tahun lalu, Presiden meminta agar prosedur regulasi perhutanan sosial disederhanakan. “Berikan perhatian terhadap hak-hak masyarakat adat dan segera mengelarkan penetapan hutan adat, terutama yang telah memenuhi persyaratan. Ini tolong digarisbawahi mengenai hutan adat penting sekali,” tegas Presiden, usai rapat terbatas mengenai perhutanan sosial.
Tags:

Berita Terkait