Wajibkan Penggunaan GTO Langgar Hak Konsumen? Ini Penjelasan Hukumnya
Berita

Wajibkan Penggunaan GTO Langgar Hak Konsumen? Ini Penjelasan Hukumnya

Penggunaan GTO lebih banyak membawa keuntungan bagi pengelola jalan tol. Karenanya, pengguna uang elektronik seharusnya mendapat insentif.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Jalan tol. Foto: SGP (Ilustrasi)
Jalan tol. Foto: SGP (Ilustrasi)
Beberapa waktu lalu, beredar video pengguna jalan tol yang berdebat dengan petugas pintu tol lantaran si pengguna jalan ingin membayar secara tunai. Saat pengenadar mobil menyerahkan uang kepada petugas tol, si petugas menjawab, “Sudah nggak terima cash lagi".

Dalam video berdurasi tiga menit lebih itu, pengendara mobil bersikukuh untuk membayar menggunakan uang tunai. Tetapi, petugas memintanya mundur dan tidak lewat jalan tol apabila hanya mau membayar tunai. Pengendara itu pun menolak permintaan petugas.

"Abang nggak mau nerima rupiah? Ini pembayaran sah ini, Bang," ujar pengendara mobil.

"Rupiahnya sah, tapi di sini berlaku tidak terima tunai," jelas petugas tol.

"Nggak berlaku? Ini bukan di Indonesia? Kalau Indonesia, masih mengakui rupiah, diterima itu Bang," ujar pengendara mobil.

"Ngomong Pak Jokowi aja deh," jawab petugas tol mencoba mengakhiri perdebatan.

Video yang viral di media sosial itu bahkan terjadi sebelum tanggal 1 Oktober yang merupakan tenggat waktu penggunaan gerbang tol otomatis (GTO) tanpa uang tunai di seluruh Indonesia. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 16/PRT/M/2017 yang mewajibkan pada akhir September sudah ada 60% dan 100% di akhir Oktober 2017 gerbang tol yang menerapkan transaksi elektronik.

Lalu, bagaimana sebenarnya perlindungan konsumen dalam penerapan kebijakan tersebut? Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, penggunaan GTO justru lebih banyak menguntungkan pengelola jalan tol ketimbang konsumen. Ia menyebut, dengan menggunakan GTO maka pengelola jalan tol tidak perlu lagi menyiapkan uang kembalian yang nilainya cukup banyak.

Sementara itu, ia menilai penggunaan GTO tidak mengurangi kemacetan sebagaimana yang selama ini digembar-gemborkan pengelola jalan tol. Sebab, ia yakin kemacetan tidak berkaitan dengan metode pembayaran apakah tunai atau elektronik. Melainkan, terkait dengan perbandingan jumlah jalan dan kendaraan. "Jadi, konsumen jalan tol tidak merasakan nilai lebih dari penggunaan uang elektronik,” tuturnya, Senin (16/10).

(Baca Juga: Peraturan BI Soal e-Money Digugat ke Mahkamah Agung)


Selain itu, penggunaan GTO juga tidak memberi pilihan bagi konsumen terkait metode pembayaran yang digunakan. Jika tidak mau menggunakan uang elektronik maka konsumen tidak boleh melintasi jalan tol. Padahal, Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin hak konsumen untuk tidak didiskriminasikan. Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen tersebut juga mewajibkan pelaku usaha untuk melayani konsumen secara tidak diskriminatif.

“Yang terjadi, konsumen yang ingin membayar dengan menggunakan uang tunai, justru ditolak untuk dilayani. Seharusnya jangan seratus persen GTO, sehingga konsumen yang pakai uang tunai juga dilayani,” ujarnya.

Mengenai pilihan penggunaan uang tunai dan GTO, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah membuat Rekomendasi kepada Bank Indonesia. Rekomendasi tertanggal 22 September 2017 itu salah satunya meminta Bank Indonesia tetap tetap menjamin akses pembayaran tunai bagi konsumen. Menurut BPKN, hal ini sesuai Undang Undang No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku.

Pengacara perlindungan konsumen David Maruhum L. Tobing, menjelaskan bahwa penggunaan GTO merugikan konsumen. Sebab, konsumen sudah dipaksa untuk tidak membayar secara tunai. Kemudian, uang konsumen yang ada di dalam kartu mengendap di bank dan tidak memperoleh bunga. Uang yang mengendap itu pun tidak mendapat jaminan dari Lembaga Penjamin Simapanan (LPS).

“Kemudian, jika konsumen kehilangan kartu, uang yang ada dianggap hilang,” katanya.

David juga menilai bahwa dengan melarang transaksi tunai pihak pengelola jalan tol dan perbankan telah menolak uang Rupiah. Hal ini bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. "Perlu diingat, berdasarkan Undang-Undang mata uang, uang rupiah itu adalah uang logam dan uang kertas," ungkapnya.

(Baca Juga: Ragam Kritik atas Kebijakan Biaya Isi Ulang e-Money)

Ia menambahkan, pihak yang menolak transaksi yang menggunakan Rupiah juga bisa diancam sanksi pidana. Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang mengatur bahwa tidak boleh menolak pembayaran dengan tunai rupiah. Selanjutnya, dalam pasal 33 tersebut juga diatur bahwa penolakan pembayaran dengan rupiah adalah tindak pidana dan dihukum kurungan penjara 1 tahun dan denda Rp 200 juta.

Pengisian Ulang
Tulus Abadi menuturkan, masalah perlindungan konsumen juga muncul saat pengisian ulang uang elektronik. Sebagaimana diketahui, berdasarkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor (PADG) 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional, bank yang menerbitkan uang elektronik berhak menarik biaya pengisian ulang.

Biaya tersebut menurut Tulus adalah bentuk disinsentif. Padahal sebaliknya, Tulus mengatakan bahwa seharusnya konsumen yang menggunakan uang elektronik lah yang mendapat insentif. "Seharusnya kalau untuk mendukung gerakan nontunai, tidak boleh ada biaya. Masyarakat sudah dirugikan dengan berpindah ke kartu. Justru mereka yang menggunakan uang elektronik berhak mendapat insentif,” tegas Tulus.

Hal senada disampaikan oleh David Tobing. Ia menampik klaim yang disampaikan pihak bank maupun pengelola jalan tol bahwa biaya isi ulang elektronik untuk mendukung perawatan infrastruktur. Menurutnya, biaya perawatan infrastruktur dan teknologi bisa dialokasikan dari efisiensi kebijakan nontunai. “Bukan malah dibebankan kepada konsumen,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait