Polri Tawarkan Dua Opsi Metode Kerja Densus Tipikor
Berita

Polri Tawarkan Dua Opsi Metode Kerja Densus Tipikor

BRiS pesimis Densus Tipikor bisa bekerja secara independen apabila penindakan tipikor melibatkan petinggi Polri sendiri. Sebab, persoalan indepedensi lembaga penegak hukum manapun masih menjadi persoalan klasik yang rentan diintervensi.

Oleh:
Agus Sahbani/ANT
Bacaan 2 Menit
Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Foto: RES
Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Foto: RES
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menawarkan dua pilihan metode kerja Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor). Dua metode ini diarahkan agar kerja-kerja dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Densus Tipikor bisa efektif dan efisien.

"Pertama, dibentuk satu atap dengan Jaksa Penuntut Umum, sehingga kepemimpinannya bukan (semata) dari Polri, namun kami usulkan satu perwira tinggi bintang dua Kepolisian, satu dari Kejaksaan, dan satu dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," kata Tito dalam Rapat Kerja Komisi III DPR, di Gedung DPR Jakarta, Senin (16/10/2017).

Dia menjelaskan metode pertama itu kekuatan dalam pimpinan Densus Tipikor bukan bersifat subordinat, namun kolektif kolegial dan sulit diintervensi. Di sisi lain, kata dia, tanpa mengurangi tugas Kejaksaan, Satgas Khusus Tipikor di Kejaksaan juga bisa melakukan kewenangannya.

Sementara metode kedua, kata Tito, Densus Tipikor tidak perlu satu atap, seperti struktur dalam Detasemen Khusus 88 Anti-teror yang dipimpin perwira tinggi Polri berbintang dua. Sebab, di Kejaksaan sendiri sudah ada Satgas Khusus Tipikor, sehingga bisa berkoordinasi dalam pemberantasan korupsi. “Seperti Densus 88, sudah ada Satgas penuntutan di Kejaksaan tujuannya agar tidak ada bolak balik perkara ketika berkas selesai," kata dia.

Tito menegaskan kehadiran Densus Tipikor bukan untuk menegasikan (mengesampingkan) rekan-rekan penegak hukum lain, seperti Kejaksaan. Institusi Kejaksaan bisa tetap menangani penyidikan dan penuntutan di luar tim yang dimitrakan bersama dengan Densus Tipikor. Dan juga bukan untuk menyaingi kerja-kerja KPK. Ini disebabkan kasus-kasus korupsi sangat luas (kompleks), sehingga harus berbagi dalam penanganan kasus korupsi.

“Saya tegaskan, kehadiran Densus Tipikor Polri bukan menegasikan rekan-rekan penegak hukum lain, bukan untuk menyaingi KPK dan Kejaksaan. Namun kasus korupsi sangat luas sehingga bisa bagi tugas," katanya. (Baca Juga: KPK Dukung Pembentukan Densus Tipikor)

Dalam rapat kerja sebelumnya, Kamis (12/10) kemarin, Kapolri memaparkan struktur Densus Tipikor bakal dipimpin oleh Kepala Densus (Kadensus) dengan pangkat jenderal bintang dua yang berada langsung di bawah Kapolri. Densus nantinya diisi oleh 3.560 personil melalui proses rekrutmen yang ketat dengan gaji dan tunjangan setara dengan penyidik KPK. Ribuan personil itu pun dibagi menjadi 6 Satgas untuk tipe A; 14 Satgas tipe B; dan 13 Satgas untuk tipe C.

Total anggaran pembentukan Densus Antikorupsi ini mencapai Rp2,6 triliun. Rinciannya, anggaran untuk belanja pegawai sebanyak 3.560 personel mencapai Rp786 miliar, belanja barang untuk operasional penyelidikan dan penyidikan senilai Rp359 miliar. Lalu belanja modal sebesar Rp1,55 triliun termasuk membuat sistem dan kantor serta pengadaan alat penyelidikan, penyidikan, pengawasan dengan sistem index dan ad cost. Ditargetkan Densus Tipikor ini terbentuk akhir 2017, sehingga awal 2018, Densus bisa mulai bekerja.
Jenis AnggaranJumlah Anggaran
Belanja Pegawai (3.560 personil) Rp786 Miliar
Penyelidikan, Penyidikan dan lainnya Rp359 Miliar
Belanja Modal Rp1,55 Triliun
Total AnggaranRp2,695 Triliun

Kejaksaan enggan bergabung
Kejaksaan Agung enggan bergabung dalam Densus Tipikor yang dibentuk Polri karena institusi tersebut sudah lebih dahulu mempunyai Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK) dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

"Kami sudah punya Satgasus jauh sebelum ada pemikiran pembentukan Densus Tipikor, kami sudah punya. Satgasus ini sama sekali tidak ada tambahan biaya operasional," kata Jaksa Agung M Prasetyo usai Rapat Kerja Gabungan dengan Komisi III DPR, Polri dan KPK di Gedung Nusantara III Jakarta, Senin.

Hal itu dikatakannya menanggapi usulan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian yang menawarkan dua metode kerja Densus Tipikor. Salah satunya memasukkan unsur Kejaksaan dalam pimpinan Densus.

Prasetyo mengatakan kalau Densus Tipikor dibentuk, Kejaksaan akan memperkuat lagi dari sisi personil jaksa, sehingga institusinya akan merevitalisasi kerja-kerja penuntutan agar bisa menampung hasil kerja Densus.

Dia mengakui ada dua opsi yang ditawarkan Kapolri terkait Densus Tipikor, yaitu (Densus Tipikor) dipimpin bersama namun kerjanya masing-masing seperti sekarang. "Kita lihat, masing-masing memiliki independensi dan hasil kerja penyidik dinilai Jaksa Penuntut Umum. Jadi, jangan khawatir ada kesan bolak-balik dalam penanganan kasus korupsi," ujarnya.

Dia menegaskan JPU merupakan praktisi hukum yang berpengalaman, sehingga apabila berkas perkara belum lengkap secara formal dan materil maka harus diperbaiki dan dikembalikan. Baginya, tidak masalah apabila kerja pemberantasan korupsi dilakukan masing-masing selama setiap institusi melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga tidak perlu ada kekhawatiran.

Dia berharap kinerja Densus Tipikor nantinya tidak saling tumpang tindih dengan KPK karena sesuai UU, KPK menangani kasus korupsi yang nilainya diatas Rp1 miliar. Karena itu, dia berharap rumusan ini perlu dipertegas lagi dan sekarang ini bagaimana tindak pidana korupsi bisa ditangani bersama secara lebih terintegrasi.

Pesimis bisa independen
Bureaucracy Reform Institute (BRiS) mengapresiasi rencana Polri membentuk Densus Tipikor. “Niat baik Kapolri membentuk badan khusus anti korupsi wajib diapresiasi bagi semua pihak. Kita berharap pembentukan badan tersebut bukan lips service semata,” ujar Ketua BRiS Riski Ismanto dalam keterangan tertulis yang diterima Hukumonline.  

Hanya saja, dia pesimis, Densus Tipikor bisa bekerja secara independen apabila penindakan tipikor melibatkan petinggi Polri sendiri. Sebab, persoalan indepedensi lembaga penegak hukum manapun masih menjadi persoalan klasik yang rentan diintervensi.        

“Seorang kepala Densus akan dipimpin oleh seorang polisi dengan pangkat bintang dua. Apakah Densus berani menangani kasus korupsi yang diduga dilakukan atau melibatkan oknum Kepolisian berpangkat bintang dua ke atas?”

Belum lagi, lanjut Riski, sistem kepegawaian di Kepolisian terkait proses promosi, mutasi, dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) yang terdiri dari Kapolri dan jajaran eselon I yang diisi polisi berpangkat bintang tiga. “Bagaimana (bisa) Densus menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan Kapolri atau jajaran eselon I?”

“Karena itu, masalah independensi dan sistem kepegawaian juga harus menjadi perhatian. Bisa saja, misalnya anggota Densus yang sedang menangani kasus korupsi dapat secara tiba-tiba dimutasi ke bagian lain. Biasanya, proses promosi dan mutasi tersebut mempunyai legitimasi yang kuat karena hal biasa terjadi di lembaga pemerintah termasuk di jajaran Kepolisian,” katanya. 
Tags:

Berita Terkait