Tidak Ada Problem Legalitas dalam Aktivitas Taksi Online
Berita

Tidak Ada Problem Legalitas dalam Aktivitas Taksi Online

Sebenarnya bermuara pada kesalahpahaman dari banyak pihak atas status angkutan online.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Achmad Izzul Waro (pengamat Transportasi) kiri, Andri Yansah (Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta) kedua kanan dan Berly Martawardaya (Direktur Program INDEF) kanan saat menjadi pembicara di acara diskusi publik yang mengangkat tema
Achmad Izzul Waro (pengamat Transportasi) kiri, Andri Yansah (Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta) kedua kanan dan Berly Martawardaya (Direktur Program INDEF) kanan saat menjadi pembicara di acara diskusi publik yang mengangkat tema
Putusan Mahkamah Agung (MA) No.37 P/HUM/2017 yang menganulir 14 pasal di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.26/2017 (Permenhub 26/2017) tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek memicu problem di Masyarakat. Salah satu bentuknya adalah meningginya tensi antara operator angkutan umum konvensional dengan angkutan berbasis aplikasi atau yang biasa disebut angkutan online.

Gelombang aksi penolakan angkutan online oleh operator angkutan umum konvensional kembali mencuat di beberapa daerah pasca MA menganulir Permenhub 26/2017. Di Jawa Barat, Pemerintah Provinsi bahkan mengeluarkan imbauan larangan beroperasinya angkutan online sampai revisi PM.26/2017 selesai demi menjaga situasi tetap kondusif.

“Maraknya penolakan dan pelarangan terhadap angkutan online sebenarnya bermuara pada kesalahpahaman banyak pihak atas status angkutan online, terutama yang beroda empat, pasca keluarnya Putusan MA No.37/2017,” ujar Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Berly Martawardaya, dalam diskusi yang bertajuk “Mengurai Benang Kusut Regulasi Angkutan Online Pasca Putusan Mahkamah Agung”, Selasa (17/10), di Jakarta.

Menurut Berly, ada pihak yang berkesimpulan bahwa dengan keluarnya Putusan MA No. 37/2017, angkutan online roda empat atau Angkutan Sewa Khusus (ASK), menjadi tidak punya dasar hukum alias ilegal merupakan pemahaman yang keliru. “Keluarnya Putusan MA.37/2017 tidak menghapus Permenhub yang menjadi dasar hukum ASK, sehingga tidak ada masalah legalitas atas operasi ASK,” ujarnya.

Oleh karena itu, Berly menilai tindakan penolakan apalagi pelarangan terhadap operasi angkutan online memberikan dampak negatif bagi ekonomi masyarakat. Menurutnya, ada ratusan ribu pengemudi angkutan online yang akan kehilangan mata pencahariannya di seluruh Indonesia jika penolakan dan pelarangan terus terjadi.

“Ini jelas sangat tidak menguntungkan mengingat situasi ekonomi sedang rentan disertai stagnannya daya beli masyarakat,” ujar Berly.

Selanjutnya, Berly mengungkapkan bahwa popularitas layanan transportasi berbasis teknologi aplikasi di Indonesia didorong oleh belum tersedianya sarana transportasi publik yang nyaman dan terjangkau di tengah masyarakat. Selain itu, kehadiran angkutan online berperan dalam menekan angka pengangguran.

(Baca Juga: MTI: ‘Hidupkan’ Kepmenhub 35/2003 dalam Revisi Aturan Transportasi Online
)


Sementara dari sisi konsumen, Berly menilai angkutan online menyediakan apa yang selama ini diidamkan oleh masyarakat, tapi belum mampu disediakan oleh angkutan umum konvensional yaitu layanan transportasi yang aman, nyaman dan terjangkau.

“Maka dari itu, harapan kami, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub), nantinya mampu melahirkan kerangka peraturan yang kredibel, komprehensif dan adil bagi semua pihak agar tidak ada lagi uji materi terhadap peraturan yang dikeluarkan yang menyebabkan konflik sosial di lapangan,” lanjut Berly.

INDEF menyoroti poin-poin yang dicabut oleh Putusan MA.37/2017, di antaranya soal pengaturan tarif batas atas dan bawah serta penentuan kuota jumlah kendaraan ASK. Menurut Berly, dibatalkannya norma yang mengatur kedua hal tersebut sudah bisa diprediksi karena Permenhub 26/2017 memaksakan pendekatan lama yaitu menyamakan pengaturan ASK dengan taksi konvensional walaupun keduanya mempunyai model bisnis yang sangat berbeda.

Mekanisme penentuan harga angkutan online sebelum adanya Permenhub 26/2017 yang mengatur soal tarif sudah menerapkan sistem harga yang dinamis (dynamic pricing)yang bergerak fleksibel mengikuti ketersedian (supply) dan kebutuhan (demand).

Mekanisme pasar dalam penentuan harga sudah efektif selama terjadi persaingan yang sehat serta tidak ada penetapan harga (price fixing) yang statis. INDEF menilai yang harus ditindak tegas adalah penerapan predatory pricing, di mana satu operator membanting harga di bawah biaya operasional untuk membangkrutkan pesaing dan menguasai pangsa pasar.

(Baca Juga: Ini Poin-poin Penting Revisi Permenhub Angkutan Sewa Daring
)


Menurut Berly, tarif bawah bisa ditetapkan dengan memperhitungkan biaya bensin, asuransi kendaraan dan Upah Minimum Regional (UMR) lokal untuk menghindari predatory pricing dan eksploitasi pengemudi serta memberi jaminan pengobatan bila terjadi kecelakaan.

Adapun tarif atas tidak perlu diatur karena sistem dynamic pricing memang melakukan subsidi silang pada tingkat permintaan yang berbeda. Operator transportasi online bagaimanapun tidak dapat menerapkan tarif terlalu tinggi karena berkompetisi dengan operator online lainnya serta operator konvensional.

Selanjutnya mengenai kuota. “Seharusnya, jika tarif sudah diatur tidak perlu lagi ada pengaturan kuota jumlah kendaraan. Pengemudi ASK tidak akan terus beroperasi bila sudah terlalu banyak armada sehingga pendapatannya tidak memadai,” kata Berly.  

Ia juga menambahkan bahwa dalam revisi Permenhub 26/2017 harus tetap mengatur secara tegas aspek-aspek terkait keamanan dan keselamatan penumpang dan pengemudi. Maka dari itu, aturan-aturan seperti kewajiban uji KIR dan asuransi bagi penumpang dan pengemudi tetap harus menjadi bagian dari peraturan baru yang akan dikeluarkan.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Andri Yansah, mengatakan sebenarnya pengaturan terhadap pelaku usaha yang bergerak di bidang transportasi sudah ada dalam UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karena itu, dia tidak terlalu sepakat dengan keberadaan Permenhub 32 Tahun 2016 yang kemudian direvisi dengan Permenhub 26 Tahun 2017.

Menurut Andri, pelaku usaha berbasis online (operator) sebelumnya pernah ditanyakan posisi mereka, apakah sebagai pelaku usaha transportasi atau sebagai provider yang menyediakan jasa transportasi berbasis teknologi informasi. Namun, karena keinginan operator untuk menjadi provider sehingga untuk memenuhi izin penyelenggaraannya, mesti dibentuk badan hukum atau koperasi yang bergerak di bidang usaha transportasi.

“Untuk bergerak di bidang usaha transportasi sebagai operator, pelaku usaha harus diwadahi sebagai badan hukum, badan usaha, atau koperasi,” terang Andri.

Untuk itu, pihaknya memfasilitasi agar operator dapat membentuk badan usaha atau koperasi agar dapat bekerjasama dengan provider. Pada pinsipnya, dalam melakukan usaha di bidang transportasi, selain harus memiliki izin penyelenggaraan, juga mesti memiliki izin operasional yang berkaitan dengan armada.

Kepala Seksi Terminal dan Angkutan Dishub DKI, Adji K, mengkonfirmasi terkait perbedaan pemahaman operator online dengan operator taksi konvensional terkait putusan MA No. 37/2017. Oleh karena itu tidak mengherankan jika di antara mereka ada yang beranggapan operasional taksi online itu ilegal.

Adji juga menegaskan bahwa dalam revisi Permenhub No 26 yang sedang dibahas, nantinya tidak mengurangi kewajiban operator online terkait izin penyelenggaraan maupun izin operasional.

Kepala Bidang Transportasi Multimoda DPP Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Ahmad Izzul Waro, mempertanyakan tidak adanya pengaturan soal sepeda motor sebagai salah satu moda transportasi yang digunakan oleh operator online. Mengingat faktor keamanan, keselamatan, dan sebagainya yang juga seharusnya diperhatikan oleh sepeda motor sebagai moda transportasi yang terdapat pada operator online, Izzul mengatakan negara seolah tidak ikut hadir dalam menjamin terpenuhinya aspek-aspek tersebut. 

Tags:

Berita Terkait