Mau Hentikan Reklamasi, Begini Opsi Hukum Versi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta
Berita

Mau Hentikan Reklamasi, Begini Opsi Hukum Versi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta

Gubernur bisa bertindak sesuai batas kewenangannya.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Demo menolak reklamasi teuk Jakarta. Foto: RES
Demo menolak reklamasi teuk Jakarta. Foto: RES
Pemerintah Pusat sudah memastikan mencabut moratorium pembangunan reklamasi Teluk Jakarta. Kebijakan itu ditempuh sebelum Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dilantik jadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta. Itu sebabnya, tak mudah bagi pasangan Anies-Sandi merealisasikan janji kampanye mereka: menolak reklamasi.

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) termasuk yang mengingatkan pasangan baru pemimpin Jakarta itu merealisasikan janji kampanye mereka. Koalisi adalah pihak yang mengajukan langkah hukum ke PTUN ‘melawan’ kebijakan reklamasi tersebut. Kiara, salah satu organisasi yang ikut menggugat, dan jadi anggota Kalisi.

Deputi Advokasi Hukum dan Kebijakan Kiara, Tigor Hutapea, mengatakan ada opsi hukum bagi Gubernur DKI Jakarta sesuai kewenangan yang dimilikinya. Tigor berasumsi bahwa reklamasi Teluk Jakarta menabrak sejumlah aturan antara lain UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan kata lain, dalam proyek reklamasi itu, nasib nelayan dan masyarakat yang tinggal di pesisir kurang diperhatikan.

(Baca juga: Sekilas tentang Kekhususan Gubernur Jakarta).

Pada tahap awal, yang bisa dilakukan adalah mengkaji ulang aspek hukum dan teknis yang dipakai Pemerintah Pusat untuk mencabut moratorium. Misalnya, hingga kini belum ada Perda DKI Jakarta mengenai zonasi wilayah pesisir di Teluk Jakarta. Hingga kini, Perda yang menjadi dasar hukum reklamasi itu belum disahkan DPRD dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Regulasi mengenai zonasi itu normatifnya harus terbit dahulu sebelum reklamasi dilakukan. Lalu, ada rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) karena luas daerah yang direklamasi lebih dari 50 hektar. Dalam prosesnya, masyarakat juga harus dilibatkan karena pembangunan proyek reklamasi merusak tatanan lingkungan sekitar. “Kami menilai ada sejumlah persoalan hukum dalam pencabutan moratorium reklamasi tersebut,” kata Tigor dalam diskusi di Jakarta, Selasa (17/10).

(Baca juga: Sengketa Informasi Kajian Reklamasi Berlanjut ke PTUN Jakarta).

Jika langkah itu sudah dilakukan Gubernur, ada 3 opsi lain yang bisa dilakukan untuk menghentikan proyek reklamasi. Pertama, menghapus ketentuan reklamasi sebagaimana tercantum dalam rancangan Perda (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang saat ini masih dibahas di DPRD. Gubernur bisa menarik Raperda itu untuk dibenahi kemudian diajukan kembali untuk dibahas.

Kedua, mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) yang berkaitan dengan pelaksanaan reklamasi seperti Pergub No. 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Kemudian Pergub No. 137 Tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

Ketiga, Gubernur Jakarta jangan menerbitkan izin terkait reklamasi. Jika urusan reklamasi teluk Jakarta ingin ditarik ke pemerintah pusat, Tigor menyebut Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta harus direvisi terlebih dulu.

Advokat Publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mengatakan Keppres No. 52 Tahun 1995 merupakan landasan hukum reklamasi Teluk Jakarta. Dalam perjalanannya rencana reklamasi itu mendapat penolakan tidak hanya masyarakat tapi juga BUMN. Setelah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dinilai komisi penilai Amdal pusat, hasilnya menyebut reklamasi itu tidak layak. Lalu, terbit Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KemenLH) No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Pantai Utara Jakarta di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Regulasi itu menyebut proyek reklamasi berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga rawan bencana banjir. Dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan cukup luas melebihi wilayah administrasi Jakarta yakni sampai Kabupaten Tangerang dan Bekasi.

Keputusan Menteri itu juga memperhatikan surat PT Pembangkitan Jawa Bali No. 039/DIRUT/IX/2002 tentang Keberatan Terhadap Rencana Reklamasi Pantura Jakarta, khususnya di area sekitar Pembangkit Muara Karang. Selanjutnya surat keberatan pemerintah kabupaten Tangerang atas rencana kegiatan sodetan Sungai Ciliwung ke Sungai Cisadane sehingga penurunan debit aliran Sungai Ciliwung tidak tercapai. “KepmenLHK ini menetapkan reklamasi itu tidak layak dan memerintahkan instansi berwenang menolak permohonan izin,” urainya.

(Baca juga: Suara Dissenting Seorang Hakim tentang Pencabutan Kuasa).

Namun KepmenLHK digugat ke PTUN oleh 6 kontraktor yang mengerjakan proyek reklamasi. Hasilnya putusan Peninjauan Kembali pada tahun 2011 memenangkan pihak kontraktor dan KepmenLHK itu dibatalkan. Tapi, Nelson menekankan yang dipersoalkan majelis hakim bukan substansi dalam regulasi tersebut tapi masalah kewenangan KemenLHK memerintahkan instansi lain untuk menolak permohonan izin.

Setelah itu Gubernur Jakarta, Sutiyoso, menerbitkan izin prinsip untuk sebagian pulau yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Fauzi Bowo. Tahun 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur. “Peraturan itu intinya memberi kewenangan kepada Gubernur Jakarta terkait reklamasi,” pungkasnya.

Kebijakan apa yang akan diambil Gubernur DKI Jakarta? Banyak orang menantikannya.
Tags:

Berita Terkait