Alasan 3 Pakar Hukum Tata Negara Sepakat Tolak Perppu Ormas
Berita

Alasan 3 Pakar Hukum Tata Negara Sepakat Tolak Perppu Ormas

Dalam aspek implementasinya, Perppu tersebut menghadirkan ketidakpastian hukum.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Alasan 3 Pakar Hukum Tata Negara Sepakat Tolak Perppu Ormas
Hukumonline
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan agenda mendengarkan masukan ahli terhadap Rencana Undang-Undang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang revisi UUNo.17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

RDPU tersebut menghadirkan tiga orang pakar hukum tata negara, yakni Irmanputra Sidin, Refly Harun, dan Yusril Ihza Mahendra. Yusril sendiri saat ini merupakan kuasa hukum ormas HTI dalam permohonan pengujian Perppu No. 2 Tahun 2017 yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).

Irman dalam pandangannya menyoroti dua alasan yang tercantum dalam konsideran Perppu yaitu mengenai kebutuhan mendesak dilakukannya revisi terhadap UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas dan keberadaan asas contrarius actus yang memungkinkan negara sebagai pihak yang mengeluarkan izin terhadap keberlakuan sesuatu, dapat mencabut izin tersebut.

Untuk alasan pertama dikeluarkannya Perppu, di mana UU Ormas dianggap belum mengatur secara konprehensif tentang apa yang dimaksud dengan frasa “bertentangan dengan Pancasila” sehingga menurut konsideran Perppu Ormas, hal tersebut dapat menimbulkan kekosongan hukum dalam penerapan sanksi yang efektif, Irman menjelaskan dengan merujuk kepada pasal 59 ayat 4 UU Ormas.

(Baca Juga: Komisi II Jelaskan Mekanisme Pembahasan Perppu Ormas)

Pasal 59 ayat 4 UU Ormas menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelarangan terhadap Ormas yang mengembangkan, menganut, dan mengajarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Definisi dari paham yang bertentangan dengan Pancasila dalam UU Ormas, menurut Irman, adalah sebagaiamana dalam penjelasan norma, atheisme, komunisme, marxisme, dan leninisme.

“Sehingga disimpulkan bahwa ajaran yang di luar dari ajaran yang disebutkan tidak bertentangan dengan Pancasila karenanya tidak dapat dikenakan sanksi,” ujar Irman di Kompleks Senayan Jakarta, Rabu (18/10).

Menurut Irman, tujuan dari dikeluarkannya Perppu adalah untuk mengisi kekosongan hukum guna menghadirkan kepastian hukum. Hal ini sebagaimana definisi kegentingan memaksa yang ditetapkan MK yakni, karena adanya keadaan tertentu yang harus diatasi segera supaya tidak terjadi ketidakpastian hukum, untuk itu Perppu dikeluarkan.

“Jadi jaminan yang paling penting adalah apakah setelah keluarnya Perppu telah memberikan kepastian hukum atau tidak?” kata Irman dengan nada bertanya.

Ia menjelaskan, apabila dengan kehadiran Perppu ternyata semakin memberikan ketidakpastian hukum, maka dapat dipastikan Perppu tersebut tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa seperti yang diisyaratkan oleh putusan MK. Bahkan, menurut Irman, Perppu tersebut dapat berubah menjadi instrumen penyalahgunaan kewenangan oleh Pemerintah.

“Apabila diperhatikan frasa ‘atau paham lain yang bertujuan mengganti, mengubah, dan seterusnya UUD 1945’, sulit rasanya kepastian hukum akan tercapai karena frasa tersebut memiliki definisi yang sangat luas dan multitafsir. Jika dibaca dari sudut pandang apapun akan menebar kecemasan karena bermakna siapapun ormas yang berpaham yang bertujuan mengubah Pancasila dan UUD 1945 maka akan dikenakan sanksi,” terang Irman.

Irman kemudian mencontohkan tentang keberadaan Ormas yang bergerak di bidang kajian konstitusi. Pada umumnya omas-ormas tersebut dengan perspektifnya masing-masing, memberikan rekomendasi untuk perubahan konstitusi menuju ke arah yang lebih baik. Dengan adanya norma seperti yang diatur dalam ketentuan Perppu tersebut, Irman menilai dapat mengancam dialektika masyarakat tentang konstitusi sehingga dalam aspek implementasinya, Perppu tersebut menghadirkan ketidakpastian hukum.  “Oleh karena itu Perppu ini inkonstitusional,” ujarnya.

Kemudian untuk alasan kedua tujuan dikeluarkannya Perppu, asas contrariusactus. Irman menilai dengan memberlakukan asas contrario actus dalam proses pembubaran Ormas merupakan bentuk penegasian terhadap peran kekuasaan kehakiman. Irman menampik tegas keberadaan Perppu yang menegasikan kekuasaan kehakiman yang sebenarnya merupakan perintah norma konstitusi.

(Baca Juga: Pemahaman Asas Contrarius Actus dalam Perppu Ormas Dinilai Tidak Tepat)

Menurut Irman, eksistensi kekuasaan kehakiman adalah konsekuensi logis dari prinsip negara Indonesia sebagai negara hukum. Munculnya kewenangan kekuasaan kehakiman dalam UU Ormas adalah keniscayaan konstitusi, karena prinsip negara hukum di mana ada pengakuan hak asasi manusia, kebebasan berserikat berkumpul yang tidak bisa dikurangi, dibatasi, dicabut secara subjektif oleh presiden.

“Prinsip contrarius actus tidak bisa diterapkan tanpa peran pengadilan jikalau itu disebabkan oleh asusmsi pelanggaran terhadap suatu UU yang berakibat hilangnya, berkurangnya, atau terbatasinya hak-hak konstitusionalisme warga negara,” tegas Irman.

Menurutnya, apabila negara ingin mencabut dan mengurangi hak-hak konstitusional warganya, maka negara harus dipersulit. Sebaliknya, apabila negara ingin melakukan pemenuhan hak-hak konstitusional warga maka negara harus mempermudah dirinya. Hal ini berangkat dari sebuah postulat yang ia yakini, semakin banyak ormas maka semakin masyarakat itu ingin membantu negara guna mencapai tujuan dari keberadaan negara itu.

Sementara Refly Harun menekankan tiga hal penting dari substansi Perppu Ormas. Ketiganya adalah mempercepat proses pembubaran ormas dengan menghilangkan due process of law; memperluas pengertian ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dalam penjelasan pasal; dan memberikan sanksi pidana terhadap anggota ataupun pengurus Ormas yang melanggar larangan.

Dari sisi substansi, menurut Refly, Perppu tersebut bermasalah sehingga perlu dipikirkan jalan keluarnya. Sementara dari aspek prosedur, Refly menyoroti keleluasaan subyektif Presiden dalam mengeluarkan Perppu. Oleh karena itu, untuk menciptakan objektifitas terhadap sebuah Perppu, Refly menekankan peran DPR dan MK. “Nanti objektifikasi political check-nya ada di DPR kemudian judicial check-nya ada di MK,” ujarnya.

(Baca Juga: Begini Alasan Pemerintah Terbitkan Perppu Ormas)

Menyoal frasa bertentangan dengan Pancasila yang keterangannya disebutkan dalam bagian penjelasan, Refly mengingatkan akan potensi hilangnya penjelasan tersebut apabila diuji di MK. Seringkali MK menganggap penjelasan norma justru memunculkan norma baru yang tidak diatur dalam batang tubuh.

“Banyak putusan MK yang kemudian menghilangkan penjelasan karena dianggap memunculkan norma baru yang tidak ada di batang tubuh. Ini terjadi juga di dalam Perppu ini di mana soal-soal yang anti Pancasila cuma diselipkan saja di penjelasannya,” terang Refly.

Refly mengingatkan, apabila nantinya DPR tidak menyetujui Perppu menjadi UU, hal ini tidak ada hubungannya dengan persoalan wibawa eksekutif dalam hal ini Presiden. Ia merekomendasikan agar Perppu ini tak disetujui jadi UU. “Sehingga not necessary untuk menjadikan ini UU. Bisa dicapai lewat proses legislasi biasa yang ada pembahasan dan sebagainya, atau maksud dikeluarkannya perppu sudah tercapai,”katanya.

Yusril dalam kesempatan yang sama juga mengingatkan bahwa proses pembahasan Perppu yang sedang berlangsung di DPR saat ini berjalan berbarengan dengan proses judicial review yang diajukan pihaknya ke MK. Oleh karena itu apabila salah satu dari kedua lembaga telah menghasilkan keputusannya, maka secara otomatis akan menghentikan proses di lembaga lainnya karena akan kehilangan objek pembahasan atau objek pengujiannya.

Dalam keterangannya, Yusril menyoal video yang diputar oleh perwakilan Pemerintah dalam sidang pemeriksaan di MK. Pemerintah waktu itu berdalih bahwa pemutaran video tersebut berhubungan dengan aktifitas HTI. Berdasarkan video tersebut, Yusril membangun argumentasinya.

Pertama, video tersebut direkam dari sebuah aktifitas HTI yang terjadi di tahun 2013. Menurut Yusril, berdasarkan keterangan yang disampaikan pihak HTI, aktifitas yang direkam dalam video sudah mendapatkan izin dari Pemerintah. Bahkan Kapolri pada saat itu pun hadir dalam acara HTI tersebut. Untuk memastikan kembali, Yusril mengatakan bahwa sejak dilaksanakannya aktifitas tersebut, Pemerintah di rezim lama dan pada saat ini tidak pernah memanggil HTI untuk mengklarifikasi aktifitas tersebut.

“Kalau peristiwa itu dianggap kegentingan yang memaksa, baru 2017 dikeluarkan Perppu. Itu sangat mengherankan bagi kami,” ujar Yusril.

(Baca Juga: Lebih Baik Membubarkan Ormas Lewat Mekanisme Yudisial)

Yusril berpendapat, bila ada keinginan dari Pemerintah untuk mempercepat pembubaran ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan membahayakan eksistensi negara, Pemerintah bisa membubarkan Ormas tersebut sementara waktu. “Katakanlah dalam waktu 90 hari baru kemudian ada proses challenge di pengadilan. Prinsipnya, kalau ada dispute harus ada pihak ketiga yang menyelesaikan dalam hal ini pengadilan,” ujarnya.

Kemudian mengenai asas contrarius actus, Yusril membedakan sifat izin yang merupakan hak negara dengan akta pendirian ormas yang bersumber dari hak warga negara. Prinsipnya, izin adalah kebolehan melakukan sesuatu yang dilarang. Negara memberikan izin sehingga tindakan yang dilarang menjadi boleh dilakukan. Oleh karena itu, sesekali waktu saat dipandang perlu, negara dapat mencabut izin yang telah dia berikan terhadap kebolehan pemberlakuan sesuatu.

Hal ini berbeda dengan akta yang dikeluarkan negara untuk mengesahkan hal-hak warga negara. Selain akta pengesahan ormas, ia mencontohkan dengan akta pendirian badan hukum usaha, ataupun akta pernikahan. Semua akta tersebut tidak dapat dibatalkan begitu saja oleh Pemerintah tanpa melalui proses pengadilan dan atas perintah pengadilan karena pada dasarnya merupakan hak warga negara. “Jadi ormas ini bukan kemurahan hati pemerintah, itu hak yang dijamin konstitusi kebebasan berserikat,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait