OTT, Tertangkap Tangan dan Entrapment (2)
Kolom Arsil

OTT, Tertangkap Tangan dan Entrapment (2)

Apakah OTT yang menggunakan teknik penyadapan sah atau tidak? Jawabannya dapat kita lihat dari bagaimana putusan-putusan pengadilan sejauh ini.

Oleh:
Arsil
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Melanjutkan pembahasan seputar Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebelumnya, kali ini saya akan membahas mengenai OTT dalam kaitannya dengan Penyadapan. Isu penyadapan ini perlu dibahas mengingat salah satu argumentasi dari pihak yang mempermasalahkan OTT KPK berfokus pada masalah penyadapan ini. Argumentasi tersebut yaitu pertama penyadapan yang dilakukan KPK hanya berdasarkan SOP bukan undang-undang, kedua, penyadapan dalam OTT ilegal karena dilakukan sebelum ada tindak pidananya.

Atas permasalahan tersebut saya akan menjabarkan pandangan, namun sebelumnya kembali saya mau menegaskan mengenai makna ‘operasi’ itu sendiri. Operasi sebagaimana dimaksud KBBI adalah pelaksanaan rencana yang telah dikembangkan. Sebuah operasi tentu memiliki tujuan. Dan dalam melaksanakan tujuan tersebut dipersiapkan langkah-langkah yang terencana, yang melibatkan lebih dari satu petugas, dan menggunakan berbagai sumber daya maupun teknik.

Dalam konteks penegakan hukum ‘operasi’ tentu bukan hal yang aneh. Untuk mengejar seorang buron pun tak jarang kepolisian melakukan sebuah operasi. Segala hal dipersiapkan, mulai dari menentukan petugas-petugas yang menjadi bagian dari tim, peralatan yang dibutuhkan, rencana yang matang sehingga dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan, biaya, waktu pelaksanaan dll. Semua itu dilakukan untuk mencapai tujuan utamanya yaitu: menangkap sang buron.

Operasi yang dikenal dengan istilah Operasi Tangkap Tangan ini tentu lah kira-kira secara prinsipil tak jauh berbeda dari operasi di atas, hanya tujuannya tentu bukan untuk menangkap buron, namun menangkap sejumlah orang yang diduga akan melakukan kejahatan, dalam hal ini korupsi. Apakah tujuan secara spesifiknya menangkap para pelaku tersebut saat melakukan tindak pidananya (tertangkap tangan) atau tidak, tentu hanya KPK yang tahu.

Ada yang salah dengan tujuan semacam itu? Jelas tidak. Yang salah tentu bukan tujuannya, namun para penjahat itu sendiri, kenapa melakukan kejahatan, apakah kejahatannya adalah korupsi atau yang lain.

(Baca: OTT, Tertangkap Tangan dan Entrapment (1))

OTT dan Penyadapan
Kini kita masuk ke soal penyadapan. Apakah OTT sama dengan Penyadapan? Jelas tidak. Apakah OTT selalu menggunakan Penyadapan? Bisa ya bisa tidak. Karena saya bukan orang KPK ya tentu saya tidak bisa menjawab dengan pasti. Mungkin kah sebuah operasi yang tujuannya menangkap orang-orang yang akan melakukan kejahatan dilakukan tanpa melibatkan penyadapan? Ya mungkin-mungkin saja, kenapa tidak?

Namun, ok lah kita anggap saja OTT selalu menggunakan teknik penyadapan. Lalu masalahnya di mana? Karena belum ada UU yang mengatur penyadapan sebagaimana didengung-dengungkan Fahri Hamzah dan Prof Romli Atmasasmita?

Mengenai Penyadapan memang saat ini belum ada pengaturan secara lebih jelas setingkat undang-undang, namun bukan berarti KPK tidak memiliki kewenangan penyadapan. Kewenangan penyadapan telah jelas disebut dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 12 ayat (1) huruf a. Di ketentuan tersebut dinyatakan “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a) melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”.

Ya, pasal tersebut baru menyatakan ada tidaknya kewenangan penyadapan, namun belum mengatur batasan-batasan kewenangan itu sendiri. Apakah ketiadaan pengaturan ini bermasalah? Tentu. Namun, apakah KPK dapat dipersalahkan atas ketiadaan pengaturan itu sendiri? Jelas tidak. Salahnya pembuat UU KPK mengapa UU KPK tidak mengatur dengan jelas batasan-batasan penggunaan kewenangan penyadapan. Bukan kewenangan KPK juga untuk membuat UU penyadapan, namun Pemerintah dan DPR. Jika ada anggota DPR yang menyalahkan KPK karena ketiadaan UU penyadapan berarti anggota DPR tersebut tidak memahami tugas dan fungsinya sendiri.

Banyak hal memang yang perlu diatur terkait kewenangan penyadapan ini, karena penyadapan pada dasarnya adalah pelanggaran atas hak privasi. Namun sayangnya wacana pengaturan kewenangan penyadapan saat ini masih seputar perlu tidaknya izin pengadilan belaka. Padahal banyak hal yang sebenarnya penting untuk diatur.

Pengaturan ini tujuannya untuk memberikan jaminan penggunaan kewenangan tersebut tidak disalahgunakan, dengan cara memberikan parameter yang jelas kapan kewenangan penyadapan ini dapat dilakukan, apakah tujuannya memang dalam rangka penegakan hukum, siapa-siapa saja yang bisa disadap, bagaimana jika dalam penyadapan ditemukan indikasi tindak pidana lainnya, bagaimana perlindungan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi dengan pihak yang disadap yang tidak terkait dengan tindak pidana, dan lain sebagainya.

Pertanyaan berikutnya, apakah jika belum ada hukum acara setingkat undang-undang yang mengatur batasan-batasan kewenangan penyadapan tersebut maka kewenangan penyadapan tersebut tidak boleh digunakan? Ya jelas boleh. Tak ada juga toh undang-undang yang menyatakan kewenangan tersebut belum berlaku sampai ada pengaturan lebih lanjut?

Lalu apakah belum adanya hukum acara penyadapan maka hasil penyadapan tidak dapat dijadikan bukti di pengadilan? Atas permasalahan ini menurut saya jawabannya tidak ada pada DPR, Pemerintah atau para pakar hukum sekalipun, namun pada hakim. Hakim yang memeriksa perkaranya lah yang berwenang menentukan apakah hasil penyadapan bisa dijadikan bukti atau tidak, bukan pihak lain.

Bahkan seandainya pun telah ada UU yang mengatur hukum acara penyadapan, pihak yang berwenang untuk menentukan apakah penyadapan yang telah dilakukan sah atau tidak, apakah hasilnya sah sebagai bukti atau tidak, tetap ada pada hakim yang memeriksa perkara itu sendiri. Bukan pihak lain.

Perbedaannya hanyalah jika ada hukum acara yang mengatur penyadapan maka akan memudahkan hakim dalam menilai apakah penyadapan dan hasilnya sah atau tidak, sekaligus memberikan parameter pengadilan yang lebih tinggi maupun bagi publik itu sendiri dalam menilai apakah penilaian hakim dalam menentukan sah tidaknya penyadapan atau hasilnya diberikan berdasarkan hukum atau tidak. 

Kembali ke soal apakah OTT yang menggunakan teknik penyadapan sah atau tidak. Jawabannya dapat kita lihat dari bagaimana putusan-putusan pengadilan sejauh ini. Apakah ada putusan pengadilan yang memutuskan OTT maupun penyadapan yang dilakukan KPK tidak sah? Sejauh ini sih belum saya pernah temukan.

Penyadapan Sebelum Tindak Pidana Terjadi
“OTT KPK tidak sah karena penyadapan dilakukan sebelum tindak pidana terjadi.” Begitu kira-kira pandangan lainnya yang menganggap OTT KPK tidak sah. Pandangan ini mendasarkan pada ketentuan dalam UU KPK yang menyatakan bahwa kewenangan penyadapan berada di tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dengan kata ‘penyelidikan’ berarti peristiwa hukum yang diduga peristiwa pidana harus sudah ada terlebih dahulu, baru kewenangan penyadapan dapat dilakukan. Sementara itu dalam OTT peristiwa hukumnya baru ada pada saat terjadi ‘transaksi’ itu sendiri. Jadi pada saat penyadapan dilakukan sebelumnya berarti tidak sah. Begitu kira-kira logika berpikirnya.

Namun, benarkah sebelum terjadinya transaksi yang merupakan ‘klimaks’ dari OTT tersebut belum ada peristiwa hukum?

Operasi yang dilakukan KPK pastinya dilakukan dengan didahului adanya informasi dari pihak-pihak tertentu yang mengetahui akan adanya tindak pidana. Akan sangat konyol lah jika operasi tersebut dilakukan semata dengan menyadap semua orang tanpa ada dugaan terlebih dahulu. Apa ya KPK punya segitu banyak pegawai yang bisa mendengarkan percakapan semua orang, atau setidaknya semua pejabat di seluruh indonesia setiap harinya selama 24 jam? Kecuali tentu jika Prof. Xavier-nya X-Men yang bisa membaca pikiran orang-orang di seluruh dunia ternyata kerja di KPK. Tapi sejauh ini saya belum pernah melihat Prof. X tersebut ada di KPK. Entah kalau dia selama ini bersembunyi.

Dengan informasi atas dugaan akan terjadinya transaksi tersebut maka sebenarnya dugaan telah adanya peristiwa hukum bahkan peristiwa pidana telah ada. Yaitu Permufakatan Jahat (conspiracy), yang menurut Pasal 88 KUHP artinya adalah apabila ada dua orang atau lebih bersepakat untuk melakukan kejahatan. Permufakatan Jahat ini juga telah dianggap tindak pidana dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor, yaitu dalam Pasal 15, dengan ancaman pidana yang sama dengan pidana yang akan dilakukannya itu sendiri.

Jika kita bayangkan pun suap menyuap yang kemudian berujung pada penangkapan oleh KPK melalui OTT biasanya tidak terjadi secara kebetulan belaka. Maksudnya, kedua belah pihak yang melakukan suap menyuap bukannya baru ketemu dan langsung melakukan transaksi, namun telah melakukan komunikasi-komunikasi terlebih dan membuat kesepakatan untuk melakukan transaksi. Atau dengan kata lain transaksi tersebut hanyalah perwujudan dari permufakatan jahat yang telah terjadi sebelumnya. Jadi, penyadapan yang dilakukan pra-transaksi menurut saya tetap dalam kerangka penyelidikan.

Terlepas dari itu semua, seandainya pun penyadapan yang dilakukan KPK ternyata memang dilakukan sebelum ada permufakatan jahat sehingga tidak dapat dikatakan dilakukan pada tahap penyelidikan, yang berwenang menyatakan sah tidaknya penyadapan tersebut termasuk adalah hakim, bukan pihak lain. Begitu juga mengenai hasil penyadapannya, hakim yang menangani perkara tersebut lah yang berwenang menyatakan apakah hasil penyadapan tersebut bisa atau tidak dijadikan sebagai bukti di persidangan.

*)Arsil, Pemerhati Hukum.
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags:

Berita Terkait