Regulator Berpikir Keras Merespons Inovasi Bisnis Fintech
Utama

Regulator Berpikir Keras Merespons Inovasi Bisnis Fintech

Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangat mendukung pelaku financial technology (fintech) berkembang di Indonesia. namun, bagaimanapun ada rasa khawatir terkait risiko sistemik hadirnya pemain baru di tengah industri jasa keuangan konvensional tersebut.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Regulator Berpikir Keras Merespons Inovasi Bisnis Fintech
Hukumonline
Layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (fintech) tumbuh pesat di Indonesia. Mereka hidup di antara layanan jasa keuangan konvensional dan bahkan berada dalam pangsa pasar yang sama. Hanya ada dua pilihan bagi regulator, mengatur lewat regulasi yang ketat atau melepas mereka tanpa aturan yang jelas.

Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia, Junanto Herdiawan, mengatakan bahwa regulasi menjadi kunci penting bagi industri jasa keuangan untuk berkembang. Baik Fintech maupun jasa keuangan konvensional, keduanya bisa tumbuh bersama-sama sepanjang mendapat dukungan regulator. Bank sentral selaku regulator pun berkomitmen mendukung tumbuhnya kedua pemain tersebut dalam industri jasa keuangan di Indonesia.

“Bank Indonesia tahun ini (2017) akan melakukan ketentuan (pengaturan). Tahun depan (2018-2019) akan banyak meningkatkan koordinasi dengan ekosistem yang ada. Jadi, memperkuat ekosistem antara regulator dan pemain fintech,” kata Junanto saat diwawancarai hukumonline kamis (19/10) di Jakarta.

Bank sentral sendiri, kata Iwan –sapaan akrab Junanto-, saat ini fokus mendorong empat pilar yang menjadi kunci ekosistem fintech, yakni permodalan, regulasi, permintaan dan penawaran (supply and demand), serta sumber daya manusia. Fokus regulator tahun ini lebih kepada aspek regulasi, di mana bank sentral sendiri tengah ‘ngebut’ membuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Teknologi Finansial (Tekfin) untuk dirampungkan.

Iwan menjelaskan, bank sentral menerapkan pola berbeda dibandingkan ketika menangani jasa keuangan konvensional. Dalam menangani inovasi jasa keuangan konvensional, bank sentral bersikap ‘wait and see’ atau dalam arti memantau dan melihat dulu dampak dari suatu inovasi produk perbankan, kemudian mengeluarkan aturan. Sementara, untuk tekfin bank sentral lebih cenderung ‘test and learn’ atau dalam arti bereksperimen bersama antara regulator dan pelaku tekfin itu sendiri.

“Kita sama-sama bereksperimen, kita keluar dengan konsep regulatory sandbox,” kata Iwan.

Dengan konsep regulatory sandbox, pelaku tekfin yang memiliki model bisnis terbilang baru tetap bisa beroperasi sambil ‘dikawal’ otoritas bank sentral. Kira-kira selama enam bulan pelaku tekfin terus dipantau, sementara itu bank sentral mempelajari model bisnis sebelum menentukan apakah nantinya perlu diatur melalui regulasi baru atau tidak. Dengan kata lain, tidak seluruh pelaku tekfin akan masuk dalam regulatory sandbox tersebut.

Dikatakan Iwan, konsep regulatory sandbox juga lebih menguntungkan bagi pelaku tekfin karena mereka tetap dapat beroperasi sekalipun izin belum diterbitkan oleh otoritas karena misalnya wilayah atau model bisnisnya masih belum jelas kategorisasinya. Namun, mereka hanya dapat beroperasi secara terbatas sembari menunggu kebijakan lebih lanjut dari otoritas. Apabila ternyata otoritas kemudian berpikir perlu mengatur, maka ketentuan apapun wajib dipenuhi oleh pelaku tekfin.

“Kita harus pertimbangkan dampak mikro finansial dan makro finansial. Ini yang menjadi concern bank sentral. Makanya bank sentral selalu mempertimbangkan bagaimana mendorong inovasi di satu sisi, tapi menjaga risiko stabilitas di sisi lain. Menjaga keseimbangan ini adalah tugas regulator, jangan sampai mematikan inovasi, tapi jangan juga dilepas kemudian dia malah berisiko, Ini lah ‘seninya’,” kata Iwan.

Hukumonline.com
Sumber: Bank Indonesia

Konsep regulatory sandbox sebagaimana digembar-gemborkan regulator ternyata belum sepenuhnya dipahami maksudnya oleh pelaku fintech. Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia, Ajisatria Suleiman, mempertanyakan apakah nantinya model bisnis yang dianggap oleh bank sentral sebagai hal baru yang akan masuk regulatory sandbox atau pelaku fintech sendiri yang secara sukarela agar masuk regulatory sandbox.

“Model bisnis baru mungkin belum banyak banget. Kalau tekfin, ada box (kategori/model) lending, payment gateway, dompet elektronik, dan uang elektronik. Kalau (regulatory sandbox) buat emerging business model, seberapa banyak market-nya. ‘Kavling-kavlingnya’ sudah ada. Kalau regulatory sandbox hanya buat kavling baru, nanti sedikit peminatnya,” kata Aji melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Jumat (20/10).

Menurut Aji, bank sentral sebaiknya menggunakan regulatory sandbox ketika pelaku fintech menerapkan teknologi tertentu dalam bisnisnya yang mungkin penggunaan metode seperti itu belum diatur atau mungkin bertentangan dengan ‘pakem’ pada industi jasa keuangan formal. Sebagai contoh, kata Aji, pelaku fintech bidang uang elektronik (e-money) yang menggunakan metode risk management dan fraud prevention dengan teknologi big data mungkin tepat masuk regulatory sandbox karena metode tersebut mungkin tidak lazim dipakai industri jasa keuangan konvensional.

(Baca Juga: OJK Minta Pelaku Fintech Lakukan Non Face-to-Face Know Your Customer)

Metode know your customer (Kyc) tanpa melalui tatap muka seperti pelaku fintech di bidang payment system, misalnya layak dipertimbangkan masuk regulatory sandbox. Dalam bisnis perbankan formal, metode Kyc mensyaratkan tatap muka sementara dengan teknologi cukup melampirkan foto KTP atau SIM dan ditambah dengan foto diri (selfie). Fintech juga bisa menambahkan teknologi big data dan membandingkan dengan database pelaku tindak pidana. Menurut Aji, contoh-contoh tersebut mungkin lebih patut masuk regulatory sandbox dibandingkan pelaku fintech dengan model bisnis dianggap baru.

“Itu perlu diatur ketimbang memikirkan bisnis model baru. Paling blockchain yang hanya 2-3 pelaku usaha. Tapi existing business model dengan teknologi baru yang penting. (Selain itu) equity crowdfunding ada 1-2 perusahaan. Lalu, account aggregator tapi udah kebayang, nggak perlu pakai sandbox, nggak perlu test and learn lagi,” kata Aji.

Selain itu, Aji mempertanyakan bagaimana sebetulnya konsep pendaftaran yang nantinya akan dilakukan oleh bank sentral. Selain menjadi tambahan birokrasi karena pelaku fintech punya kewajiban mendaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), rencana pendaftaran bagi seluruh model bisnis fintech sekalipun bukan kewenangan bank sentral patut dikaji ulang. Pasalnya, ada dua konsep yang berbeda antara pendaftaran dan perizinan. Bila rezim perizinan, maka pelaku pada prinsipnya mendapat izin melakukan suatu kegiatan yang mungkin sebelumnya dilarang.

“Kegiatan usaha tidak dilarang tapi diberikan sanksi kalau tidak mendaftar, itu secara konsep hukum harus didiskusikan lagi, sebenarnya rezim yang mau berlaku itu rezim apa,” kata Aji.

Hukumonline.com
Sumber: Bank Indonesia

Model bisnis fintech terus berkembang di Indonesia sementara ini yang eksis meliputi payment channel system, digital banking, online digital insurance, Peer to Peer (P2P) Lending, serta crowd funding. Data Asosiasi Fintech Indonesia, mayoritas pelaku fintech merupakan payment system dan P2P lending. Seiring dengan kuatnya penetrasi internet dan masifnya penggunaan telepon pintar (smartphone) di kalangan masyarakat, kehadiran fintech menjadi lebih prospek ke depan.

Menurut survei yang dipublikasikan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Maret 2015, jumlah pengguna internet di Indonesia naik dari 71,9 juta di 2013 menjadi 88,1 juta pengguna hingga akhir 2014 atau sekitar 34,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Perkembangan teknologi di industri perbankan telah mengalami pergantian era. Tahun 1980-an, masyarakat dihadapkan dengan kehadiran mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Perangkat bernama asli automatic teller machine (ATM) membuat masyarakat memperoleh layanan perbankan selama 24 jam.

(Baca Juga: 16 Hal yang Wajib Dipenuhi ‘Pemain’ Peer to Peer Lending dalam Fintech)

Pada tahun 2000, masyarakat mulai dikenalkan dengan sistem proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran seketika (real time gross settlement/RTGS) membuat seseorang dapat mendebet ataupun mengkredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran yang diinginkan. Tujuh tahun kemudian, tepatnya 2007, masyarakat mulai dikenalkan dengan e-money yang makin memudahkan masyarakat dalam bertransaksi.

Perubahan model bisnis di industri jasa keuangan ternyata sejalan dengan berubahnya pola kolaborasi. Catatan Asosiasi Fintech Indonesia, ada beberapa model kolaborasi, antara lain mendapat suntikan modal dari perbankan ataupun angle investor. Ada pula fintech yang berkolaborasi dengan joint venture dengan mengembangkan satu produk baru yang dikelola bersama-sama. Tidak ada satupun fintech yang tidak dapat bekerjasama dengan industri keuangan konvensional sehingga tidak ada yang namanya mendisrupsi keuangan formal.

“Kita bisa bilang, tidak ada satupun fintech yang tidak bisa bekerjasama dengan bank. Kalau kita identifikasi, seperti Go-pay, ujungnya disimpan di bank. P2P lending juga cash management harus lewat bank, jadi nggak bisa buat sistem tersendiri. 100 persen fitench berkolaborasi dengan bank apapun modelnya,” kata Aji.

Seperti PT Bank Mandiri (Persero), kehadiran tekfin justru dinilai sebagai ‘friendly disruption’ sepanjang kedua belah pihak saling berkolaborasi. CEO Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan mengatakan bahwa pertumbuhan fintech yang pesat dari tahun ke tahun tentu menjadi tantangan bagi industri jasa keuangan secara umum. Namun, Tiko –sapaan akrab Kartiko- meyakini eksistensi tekfin akan positif apalagi dalam rangka mendukung program inklusi keuangan.

“Fintech tidak punya border (tantangan) dari sisi regulasi yang ketat. Tapi tantangannya, mengintegrasikan produk fintech dengan bank konvensional,” kata Tiko saat menjadi pembicara dalam “Mandiri Capital Finspire 2017”, di Jakarta (19/10).

Sekadar mengingatkan, POJK Nomor 5/POJK.03/2016 Tahun 2016 tentang Rencana Bisnis Bank, mewajibkan direksi bank untuk menyusun rencana bisnis agar mendapat persetujuan dewan komisaris dan dikomunikasikan kepada seluruh pemegang saham maupun jenjang organisasi Bank. Dua macam dokumen wajib disampaikan kepada OJK, yaitu rencana bisnis dan laporan realisasi rencana bisnis. Dari total 13 laporan, Pasal 5 huruf k, mensyaratkan dokumen rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas baru, wajib disampaikan pada otoritas.

Rencana penerbitan produk dan pelaksanaan aktivitas tersebut, sebagaimana SEOJK Nomor 25/SEOJK.03/2016 tentang Rencana Bisnis Bank, adalah produk dan aktivitas baru yang tidak pernah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh bank. Regulator meminta perbankan untuk menguraikan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling sedikit untuk periode satu tahun ke depan. Patut dicatat, OJK juga dapat meminta bank melakukan penyesuaian rencana bisnis apabila rencana bisnis tersebut dianggap belum memadai.

Disruption (gangguan) itu pasti ada, tapi harus dijadikan ‘friendy disruption’. Bank banyak batasan yang ketat terkait compliance, kalau mau ada produk baru harus mengajukan ke regulator. Dengan keleluasaan fintech, bisa melengkapi kita dalam kesulitan pengembangan produk baru,” kata Tiko.

Yang disayangkan, lanjut Tiko, terkadang tekfin hanya sebatas berusaha memberikan solusi kepada konsumen jasa keuangan, tanpa melihat dari segi bisnis. Maksud Tiko, tekfin sering punya inovasi-inovasi yang secara komersial tidak sustainable sehingga produk tersebut sudah tidak menarik bagi konsumen sebelum perusahaan mendapat keuntungan. Hal itu yang menyulitkan perbankan khususnya Bank Mandiri sendiri dalam rangka berkolaborasi dengan pelaku tekfin.

Selain dari sisi komersial, Tiko menyoroti persoalan produk tekfin yang tidak user friendly termasuk mengedepankan sisi keamanan. Dua hal tersebut menjadi prioritas perbankan, namun sisi kemudahaan pemakaian dan keamanan fitur dan produk jasa keuangan sejalan dengan kematangan perusahaan menangani kedua hal tersebut sedangkan mayoritas tekfin merupakan perusahaan yang tergolong sebagai start up.

“Industri keuangan setahun belakangan banyak serangan hacker luar biasa. Tahun ini kita alami serangan besar. Semakin lama juga semakin canggih dan menerobos hingga ke server kita. Nasabah harus nyaman dan aman,” kata Tiko.

Semangat kolaborasi antara pelaku jasa keuangan konvensional dengan tekfin secara tidak langsung menjadi keuntungan tersendiri terutama buat konsumen jasa keuangan. Mereka akan disuguhi beragam pilihan produk yang menarik dan sesuai dengan minatnya masing-masing. Hanya saja, tak selalu mudah bagi otoritas bank sentral dalam melihat inovasi dan kolaborasi antara tekfin dan jasa keuangan konvensional.

Direktur pada Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Ida Nuryanti mengatakan bahwa bank sentral selaku regulator selalu melihat potensi risiko dari inovasi di industri jasa keuangan termasuk tekfin. Semenjak menggeliat di tanah air tahun 2015-an, bank sentral sangat mengantisipasi pergerakan pelaku tekfin apalagi ketika mulai memiliki pangsa pasar yang luas. Untuk saat ini, kata Ida, memang masih belum begitu luas karena mereka baru mulai tumbuh.

“Ini untuk antisipasi apa yang akan kami lakukan, kami tidak akan mematikan tetapi agar semua bersinergi dan berjalan. Ini kan perusahaan baru tumbuh, selama kecil, kita amati mungkin tidak ada resiko. Tapi hubungan antar start up meningkat, ini ada risiko sistemik,” kata Ida kepada hukumonline di Jakarta (19/10).

Industri perbankan, lanjut Ida, tentu akan lebih berpengalaman ketika menghadapi krisis lantaran sudah lebih dulu eksis bahkan sejak puluhan tahun lalu. Sementara, bank sentral akan sangat berhati-hati ketika mengawasi start up lantaran industri tersebut akan semakin berkembang dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Ida mencontohkan, salah satu perusahaan penyedia aplikasi transportasi online sempat menghadap kepada bank sentral karena ingin mengembangkan produk yang awalnya hanya dompet elektronik, belakangan merambah sampai ke uang elektronik.

“Walaupun ini invoasi yang kita dorong, tapi kita arahkan agar tidak menimbulkan risiko sistemik,” kata Ida.

Hal yang dipertimbangkan BI tersebut juga sejalan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Direktur Grup Inovasi Keuangan Digital OJK, Fithri Hadi mengatakan bahwa jasa keuangan telah mengalami pergantian pemain. Bahkan sejak 1999, ada tulisan yang memprediksi bahwa industri jasa keuangan akan terdisrupsi dengan digital. Industri keuangan memang butuh inovasi lantaran tingkat inklusi keuangan belum mencapai target. Tetapi regulator juga harus berhati-hati terutama berkaitan dengan systemic risk tersebut.

“Cepat lambat akan berubah, tapi harus hati-hati karena jasa keuangan ada systemic risk,” kata Fithri.

OJK sangat mendukung tekfin berkembang. Buktinya, kata Fithri, OJK telah merilis payung hukum pelaku fintech peer to peer (P2P) lending melalui POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Dukungan lainnya, OJK akan segera mengeluarkan aturan bagi fintech equity crowdfunding. OJK juga diketahui tengah mengebut penyusunan aturan bagi fintech dengan model on balance sheet. Terlepas soal regulasi, OJK sejak akhir tahun 2016 telah berinisiatif mengembangkan sejumlah forum terkait fintech.

Forum innovation hub atau pusat inovasi yang fokus mendiskusikan perkembangan fintech. Selain pusat inovasi, OJK juga telah meresmikan pembentukan Forum Pakar Fintech (Fintech Advisory Forum) sebagai wadah pengembangan arah industri layanan keuangan berbasis teknologi. Forum yang bertugas memberikan rekomendasi dan masukan sekaligus memfasilitasi koordinasi lembaga dengan pelaku start up tersebut terdiri atas 21 entitas, antara lain kementerian, lembaga, asosiasi, universitas, dan perusahaan pelaku usaha terkait.

“Intinya kita support invoasi di jasa keuangan yang manage-able,” kata Fithri.
Tags:

Berita Terkait