Wow! Demi Kepentingan Anak, 3 Peraturan JKN Ini Perlu Direvisi
Berita

Wow! Demi Kepentingan Anak, 3 Peraturan JKN Ini Perlu Direvisi

Komisi Perlindungan Anak Indonesia temukan kendala pelayanan kesehatan anak di lapangan.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Pemerintah perlu prioritaskan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pemerintah perlu prioritaskan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Foto: ilustrasi (Sgp)

Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)-Kartu Indonesia Sehat (KIS) didasarkan pada sejumlah peraturan perundang-undangan. Namun ada yang menganggap sumber masalah dalam program JKN-KIS antara lain berasal dari peraturannya sendiri. Mungkin, peraturan yang ada tak cukup lengkap mangatur sesuatu. Itu pula sebabnya ada yang mengusulkan perubahan sejumlah peraturan jaminan kesehatan nasional.

 

Ketua DJSN periode 2010-2015, Chazali Husni Situmorang, misalnya, mengatakan sedikitnya ada tiga peraturan terkait JKN-KIS yang bersinggungan dengan kepentingan anak dan perlu direvisi. Pertama, Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang telah diubah beberapa kali yang terakhir melalui Perpres No. 28 Tahun 2016. Peraturan itu perlu direvisi untuk memberikan perhatian terhadap anak yang menjadi peserta JKN-KIS.

 

Chazali mengusulkan agar revisi Perpres mengatur agar setiap RS tipe C memiliki beberapa keahlian seperti dokter anak, Pediatric Intensive Care Unit dan Neonatal Intensive Care Unit (PICU-NICU). Chazali melihat selama ini peserta JKN-KIS yang berusia anak kerap mengalami kesulitan mendapat pelayanan kesehatan PICU-NICU sehingga mengancam keselamatan jiwa mereka. Ruangan penuh menjadi alasan klasik yang sering digunakan manajemen fasilitas kesehatan.

 

Masalahnya, tidak semua RS memiliki fasilitas tersebut karena investasinya tergolong mahal. Selain itu, tarif untuk PICU-NICU yang tertuang dalam paket INA-CBGs relatif minim sehingga faskes keberatan menerima peserta JKN-KIS. “Besaran tarif ini harus disesuaikan agar proporsional,” kata Chazali dalam diskusi di Jakarta, Selasa (24/10).

 

Kedua, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 52 Tahun 2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Dalam beleid ini, masih ada tarif rendah yang berdampak pada pelayanan kesehatan, termasuk terhadap anak. Misalnya, faskes tingkat pertama (FKTP) banyak merujuk proses persalinan ke faskes rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Ini dilakukan bukan karena proses persalinan itu mengalami kendala yang tidak bisa ditangani oleh FKTP sehingga perlu dirujuk, namun tarif yang dibayar dianggap terlalu rendah bagi FKTP.

 

Mengacu pasal 11 Permenkes No. 52 Tahun 2016 besaran tarif yang dibayar untuk persalinan normal yang dilakukan oleh bidan sebesar Rp700 ribu. Jika persalinan itu dilakukan oleh dokter tarif yang dibayar Rp800 ribu.

 

Bagi Chazali hal tersebut berpotensi menimbulkan praktik kecurangan (fraud) karena FKTP mengklaim proses persalinan sulit sehingga butuh tindakan lanjut di FKRTL. Padahal, persalinan itu bisa dilakukan secara normal melalui bidan di FKTP. Oleh karenanya Permenkes No.52 Tahun 2016 perlu direvisi dalam rangka penyesuaian besaran tarif.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait