Gagasan Insolvency Test Tidak Relevan untuk Revisi UU Kepailitan
Berita

Gagasan Insolvency Test Tidak Relevan untuk Revisi UU Kepailitan

Indonesia menggunakan penafsiran terhadap Pasal 1131 BW.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Hadi Subhan saat memberikan pandangan dalam diskusi kelompok terfokus mengenai revisi UU Kepailitan. Foto: NEE
Hadi Subhan saat memberikan pandangan dalam diskusi kelompok terfokus mengenai revisi UU Kepailitan. Foto: NEE

Secara teori, menentukan seorang debitor secara teknis benar-benar insolvent (pailit) bukanlah sesuatu yang mudah. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) saja dinilai masih menyulitkan pemberesan dan pengurusan. Apalagi jika harus membuktikan termohon pailit benar-benar dalam keadaan insolven alias modal usahanya terus tergerus hingga di bawah 50 persen. Tiga belas tahun UU Kepailitan dijalankan tetap tak mudah mempailitkan suatu perusahaan atau seseorang.

 

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar luas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohon satu atau lebih kreditornya. Rumusan ini berangkat dari asumsi bahwa debitor tidak bisa atau tidak mau membayar utangnya.

 

Membuktikan terlebih dahulu seorang debitor benar-benar insolvent itulah yang lazim disebut insolvency test. Dalam test ini, pemohon pailit dibebani kewajiban membuktikan bahwa usaha termohon sudah kolaps, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus utang. Masalah ini akan dibuktikan di pemeriksaan awal, semacam dismissal process di Pengadilan Tata Usaha Negara.

 

Gagasan insolvency test itu disinggung kembali dalam diskusi kelompok terfokus Forum Kajian Hukum Bisnis & Kepailitan, di Jakarta, Rabu (25/10). Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, M. Hadi Subhan dan praktisi kepailitan Ricardo Simanjuntak senada menyebut insolvency test tak relevan diakomodasi dalam revisi UU Kepailitan.

 

(Baca juga: Indonesia Tak Bisa Anut Insolvency Test).

 

Hadi Subhan berpendapat insolvency test, seperti pemeriksaan pendahuluan di PTUN, sangat tidak diperlukan dalam hukum kepailitan di Indonesia. Ada dua alasan yang mendasari pandangannya. Pertama, secara struktur hukum amat sulit menagih utang jika dengan menggunakan gugatan wanprestasi. Waktunya bisa sangat lama dan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap sekalipun masih sulit dieksekusi. Kedua, secara kultur di Indonesia sangat mudah berutang kepada pihak lain. “Untuk penyeimbang kultur di Indonesia yang utang itu permisif, maka UU harus represif. Itu mengapa di Indonesia tidak menggunakan insolvency test,” jelasnya.

 

Praktisi hukum kepailitan yang juga Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) 2006-2013, Ricardo Simanjuntak, mengatakan bahwa penerapan insolvency test sebagai syarat permohonan pailit seperti yang diharapkan Failissements-verordening (Staatsblad 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348) sangat sulit. Pasalnya dalam sistem hukum acara perdata Indonesia kedudukan hakim bersifat pasif dan tidak berwenang melakukan pencarian bukti-bukti.

 

Satu-satunya pembuktian keadaan pailit seorang debitor adalah melalui laporan keuangan debitor yang dimohonkan pailit. Hampir tidak mungkin bagi kreditor memiliki laporan keuangan debitornya kecuali debitornya perusahaan publik. “Beberapa negara menggunakan insolvency test karena dia mempunyai sistem peradilan yang berbeda. Di Amerika Serikat mayoritas debitor yang mengajukan secara voluntir, ya dia nggak punya kesulitan membuktikan insolvency test,” jelas Ricardo kepada hukumonline.

Tags:

Berita Terkait