3 Kriteria Bagi Daerah Dapatkan Relaksasi Tambahan LTV KPR
Berita

3 Kriteria Bagi Daerah Dapatkan Relaksasi Tambahan LTV KPR

Mulai dari rendahnya penyaluran kredit yang dibutuhkan, harga perumahan yang rendah hingga terjaganya rasio kredit bermasalah.

Oleh:
Fathan Qorib/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi perumahan: HLM
Foto ilustrasi perumahan: HLM

Bank Indonesia (BI) menjelaskan, terdapat tiga kriteria bagi daerah yang akan mendapatkan relaksasi tambahan rasio kredit terhadap nilai agunan (Loan to Value/LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), di samping mendapat keringanan dari kebijakan LTV nasional.

Kriteria pertama, lanjut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo, adalah kredit properti di provinsi itu masih lebih rendah daripada penyaluran kredit yang dibutuhkan menurut kajian BI. Bank Sentral akan menghitung kebutuhan realisasi kredit properti dari sejumlah indikator, seperi Produk Domestik Bruto (PDB), maupun tren penyaluran kredit di provinsi tersebut.


"Ada provinsi yang memang kreditnya terlalu rendah maka disambung relaksasi nasional, ada tambahan relaksasi untuk provinsi itu," ujarnya, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (27/10).

 

(Baca: Resmi, BI Ubah Kebijakan LTV)

Kriteria kedua yang mendapat relaksasi LTV tambahan adalah provinsi dengan harga perumahan yang terlalu rendah. BI juga akan melihat acuan harga perimahan dari tren yang sedang berlangsung dan juga kondisi funamdental harga perumahan. "Apakah yang rumah ataupun apartemen, sektornya di perumahan," ujar Perry.

Kriteria ketiga adalah provinsi dengan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) yang terjaga alias tidak tinggi. Provinsi yang memenuhi ketiga kriteria tersebut, lanjut Perry akan mendapat tambahan relaksasi LTV, selain keringanan LTV nasional yang sudah diterapkan sejak 2016. Namun, porsi relaksasi tambahan LTV itu masih dikaji oleh BI.

Sebagai gambaran, berdasarkan relaksasi LTV nasional yang sudah berlaku sejak 29 Agustus 2016 silam, BI menetapkan LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 85 persen, rumah kedua 80 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 75 persen. Besaran yang sama berlaku untuk rumah susun.

Ini berarti ketentuan uang muka (down payment/DP) untuk LTV rumah tapak pertama dengan tipe lebih dari 70, sebesar 15 persen, rumah kedua 20 persen, sedangkan yang ketiga dan seterusnya 25 persen. Penyesuaian LTV tersebut tercantum dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016.

 

"Provinsi yang sesuai kriteria itu bisa mendapat tambahan LTV dan DP-nya bisa berkurang," tambah Perry.

 

Baca Juga: Kelonggaran Kebijakan LTV Diyakini Tumbuhkan KPR)

Namun, Perry mengaku bahwa BI masih memetakan provinsi yang akan mendapat relaksasi tambahan LTV itu. Setelah dipetakan, hasilnya akan dibawa ke Rapat Dewan Gubernur BI periode November 2017. Kebijakan relaksasi tambahan LTV yang disesuaikan keadaan provinsi atau LTV spasial merupakan salah satu rencana kebijakan pelonggaran makroprudensial BI di akhir tahun ini.

 

Dikutip dari Indikator Kesejahteraan Rakyat Tahun 2016 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015, rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri sebesar 82,68 persen. Sisanya 17,32 persen adalah bukan milik sendiri.

 

Hukumonline.com

 

Rumah tangga yang menempati rumah bukan milik sendiri terdiri dari 8,08 persen kontrak, sewa 8,01 persen, bebas sewa 1,01 persen, rumah dinas dan lainnya 0,26 persen. Kepemilikan rumah tinggal milik sendiri di perkotaan lebih rendah bila dibandingkan dengan perdesaan yaitu 73,87 persen di perkotaan dan 91,44 persen di perdesaan. Hal ini dimungkinkan karena harga jual rumah di daerah perkotaan lebih mahal daripada di perdesaan sehingga banyak penduduk yang mengontrak, sewa atau menempati rumah milik orang tua/saudara.

 

(Baca Juga: Kebijakan Relaksasi LTV dan Tax Amnesty Bantu Pertumbuhan Kredit)

 

Jika dilihat berdasarkan provinsi, DKI Jakarta adalah provinsi yang memiliki persentase terkecil untuk rumah tangga yang memiliki status kepemilikan rumah milik sendiri, yaitu sebesar 51,09 persen. Sebaliknya, untuk status kepemilikan kontrak/sewa, DKI Jakarta justru merupakan provinsi yang memiliki persentase tertinggi yaitu 34,13 persen. Hal ini menggambarkan bahwa harga rumah di DKI Jakarta sangat tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, sehingga banyak masyarakat di Jakarta cenderung memilih kontrak/sewa.

Tags:

Berita Terkait