Ada Perubahan Tren dalam Manajemen Perkara dan Pengawasan di MA
Berita

Ada Perubahan Tren dalam Manajemen Perkara dan Pengawasan di MA

Perubahan tren itu dipicu oleh pemanfaatan teknologi informasi oleh MA.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perkara yang menumpuk di Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa sangat banyak. Menurut data Kepaniteraan MA, rata-rata beban perkara yang dipikul MA sebanyak 20 ribu perkara per tahun. Jumlah itu terdiri dari perkara yang masuk pada tahun berjalan ditambah perkara dari tahun sebelumnya.

 

Jika dibandingkan dengan jumlah hakim agung, beban tersebut tentu tak sedikit. Hingga saat ini, jumlah hakim agung tidak pernah mencapai jumlah maksimal yang diamanatkan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, yaitu 60 orang. Saat ini saja hakim agung hanya 44 orang.

 

“Tahun 2016 saja 18.580 perkara. Maka, tiap hakim agung secara rata bisa mendapatkan 1.267 berkas. Bisa dibayangkan, berapa lembar berkas kasasi yang harus dibaca oleh para hakim agung itu. Paling tidak, setiap harinya harus membaca 487 halaman berkas. Itu baru berkasnya saja, belum lagi peraturan perundang-undangan,” kata Panitera MA, Asep Nursobah.

 

Menariknya, ada perubahan tren dalam penumpukan perkara di MA. Asep menjelaskan, tahun 2016 merupakan jumlah perkara putus terbanyak sepanjang sejarah. Dari beban perkara sejumlah 18 ribuan, para hakim agung berhasil memutus lebih dari 16 ribu. Secara pararel, tahun 2016 juga memecahkan rekor penumpukan perkara paling sedikit.

 

Asep menjelaskan, menurutnya ada tiga fase dalam perkembangan manajemen perkara di MA. Ia mengatakan, sampai tahun 2009 jumlah perkara putus selalu berada di bawah angka sepuluh ribu. Sedangkan antara tahun 2009-2013, perkara putus selalu di atas 12 ribuan. Terakhir, sejak tahun 2013 perkara putus selalu di atas 14 ribu.

 

Perkara sisa yang menumpuk pun memperlihatkan grafik yang menarik. Asep mengatakan, sampai tahun 2009 sisa perkara bisa lebih dari 20 ribu. Tetapi sejak tahun 2010, jumlah tersebut terus menurun secara signifikan.

 

“Kalau lihat grafiknya, sisa perkara yang menumpuk turun secara signifikan sejak tahun 2010. Tahun 2015 saja hanya tinggal dua ribuan. Ada apa? Kenapa di 2004 sampai 2010 kok tidak begitu kelihatan progresnya? Tetapi setelah 2010 sangat signifikan perubahannya. Jumlah hakimnya sama, fasilitasnya kurang lebih tetap,” tandas Asep.

Tags:

Berita Terkait