Catatan YLKI atas 3 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi
Berita

Catatan YLKI atas 3 Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi

Instrumen Nawacita merupakan peta jalan yang cukup komprehensif untuk menuju Indonesia yang lebih baik, namun dalam praktik tampaknya tak semudah membalik telapak tangan. Dalam beberapa hal, secara ideologis beberapa kebijakan yang digulirkan malah bertabrakan dengan Nawacita.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id

Tak terasa, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sudah berjalan selama tiga tahun. Tentu banyak dinamika yang mewarnai jalanannya roda pemerintahan Jokowi, baik pada konteks politik, hukum, sosial dan ekonomi. Di luar itu, tiga tahun pemerintahan Jokowi juga diwarnai dengan masalah pemenuhan hak-hak publik dan perlindungan konsumen. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), hal itu bisa dilihat dari adanya beberapa kasus atau isu perlindungan konsumen yang mengemuka.

 

1. Kasus calon jemaah umroh

Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, akhir tahun ini publik dihebohkan dengan menyeruaknya kasus umroh murah yang ujungnya menelan puluhan ribu korban. Yang paling dominan adalah biro umroh First Travel dengan korban tak kurang dari 62 ribuan calon jemaah, dengan nominal kerugian tak kurang dari Rp532 miliar.

 

Belum lagi biro umroh lain dengan korban yang sama dan sebangun. Menurut Tulus, dalam kasus umroh bermasalah YLKI menerima 22.635 pengaduan dari 6 (enam) biro umroh. Belum lagi biro umroh lain yang tidak terdeteksi. Maraknya biro umroh bermasalah lebih dikarenakan lemahnya pengawasan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Kemenag hanya getol memberikan izin operasi biro umroh, tapi ‘letoy’ dalam pengawasan.

 

Tulus mengatakan, masifnya korban umroh bermasalah adalah bukti nyata gagalnya Kemenag sebagai regulator pengawas umroh. “Sampai detik ini korban umroh tak bisa menuntut kerugian apapun atas kasus yang menimpanya. Kemenag pun hanya termangu-mangu dibuatnya,” ujar Tulus dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Senin (30/10). (Baca Juga: Menggugat Tanggung Jawab Kementerian Agama Lewat Class Action dan PMH)

 

2. Kenaikan cukai rokok

Baru-baru ini, Menteri Keuangan menaikkan cukai rokok sebesar 10,04 persen. Menurut Tulus, besaran kenaikan ini mencerminkan Menkeu ‘gagal paham’ dalam dua hal. Pertama, gagal memahami bahwa cukai adalah sin tax (pajak dosa), dan gagal paham bahwa APBN defisit karena jebloknya pendapatan pajak. Kedua, Menkeu gagal paham bahwa ambruknya finansial BPJS juga akibat konsumsi rokok.

 

Tulus mengingatkan, pada 2017, kerugian BPJS diprediksi mencapai Rp12 triliun, naik signifikan dibanding kerugian pada 2016 yang mencapai Rp9 triliun. Dengan fenomena yang demikian, kata Tulus, Menkeu seharusnya berani menaikkan cukai rokok secara progresif, minimal 20 persen. “Sebab, kenaikan cukai 10,04 persen pada 2017 adalah suatu kemunduran, karena pada 2016 kenaikan cukai rokok mencapai 11,19 persen. Tragis!,” ucap Tulus. (Baca Juga: Besaran Tarif Cukai Rokok Diusulkan Lebih dari 57 Persen)

 

3. Transportasi berbasis aplikasi (online)

Selama tiga tahun terakhir, sektor transportasi di Indonesia dihebohkan dengan munculnya moda transportasi berbasis aplikasi atau lazim disebut transportasi online, baik roda empat dan roda dua. Hadirnya transportasi online, di satu sisi disambut gembira oleh masyarakat konsumen yang merasa dimudahkan dan tarifnya pun dianggap murah. Namun di sisi lain menimbulkan reaksi keras dari transportasi konvensional yang merasa terancam. Bahkan fenomena ini tak urung menimbulkan konflik horizontal di berbagai daerah, termasuk di Jakarta.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait