Pabrik Kembang Api yang Terbakar Diduga Melanggar 5 Ketentuan Ini
Berita

Pabrik Kembang Api yang Terbakar Diduga Melanggar 5 Ketentuan Ini

Kecelakaan kerja yang terus berulang bukti pengawasan ketenagakerjaan kurang.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri memeriksa pabrik yang terbakar di Kosambi, Tangerang, pada  Minggu (29/10). Foto: Humas Kemenaker
Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri memeriksa pabrik yang terbakar di Kosambi, Tangerang, pada Minggu (29/10). Foto: Humas Kemenaker

Sejumlah anggota Komisi IX DPR menyoroti serius kasus kebakaran pabrik kembang api milik PT Panca Buana Cahaya Sukses yang terjadi di Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. Selain telah menerjunkan anggotanya untuk turun ke lapangan, Komisi IX juga memanggil pihak terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Provinsi Banten, dan Bupati Kabupaten Tangerang.

 

Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Komisi IX di Jakarta, Selasa (31/10), Kadisnaker Provinsi Banten, Alhamidi, mengatakan perusahaan itu tidak melakukan pelanggaran terkait perizinan. Menurutnya perusahaan sudah memiliki izin yang diperlukan untuk mendirikan sebuah pabrik seperti izin domisili, SIUP, izin gangguan (HO), dan sudah punya Nomor Pokok Wajib Pajak.

 

Namun ia mengakui ada dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan. Alhamidi mencatat sedikitnya ada 5 ketentuan yang dilanggar. Pertama, perusahaan belum menjalankan wajib lapor sebagaimana amanat Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan. Setelah mendapat izin untuk beroperasi, paling lambat 30 hari perusahaan wajib melapor kepada Dinas Tenaga Kerja. Faktanya, etelah 3 bulan beroperasi sampai terjadinya peristiwa kebakaran itu, pihak perusahaan belum menunaikan kewajibannya untuk lapor.

 

Sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada pengusaha yang tidak melaksanakan wajib lapor ketenagakerjaan itu ancamannya paling lama 3 bulan atau denda paling tinggi Rp1 juta.

 

(Baca juga: Keselamatan Kerja di Pabrik dan Besar Santunan Korban Kecelakaan Kerja).

 

Kedua, perusahaan ditengarai mempekerjakan anak. Alhamidi mengatakan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melarang pengusaha mempekerjakan anak terutama untuk pekerjaan terburuk seperti membahayakan kesehatan dan keselamatan. Pengusaha yang melanggar ketentuan tersebut dapat diancam pidana. Dalam konteks ini, jelas Alhamidi, Dinas Tenaga Kerja sudah berkoordinasi dengan kepolisian dalam rangka penyidikan. Sejauh ini polisi sudah menetapkan tiga orang tersangka: pemilik pabrik, direktur operasional, dan pekerja.

 

UU Ketenagakerjaan mengatur bagi pengusaha yang mempekerjakan anak dikenakan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. Bagi pihak yang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan yang terburuk, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 2 tahun paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp500 juta.

 

Ketiga, perusahaan diduga belum memberlakukan standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Pasal 87 UU Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan menerapkan sistem manajemen K3. Perusahaan yang tidak menjalankan ketentuan itu bisa dikenakan sanksi administratif berupa teguran; peringatan tertulis; pembatasan kegiatan usaha; pembekuan kegiatan usaha; pembatalan persetujuan; pembatalan pendaftaran; penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan pencabutan izin.

Tags:

Berita Terkait