Akhir dari Problem Upah dan Penerapan PHK karena Kesalahan Pasca Putusan MK
Kolom

Akhir dari Problem Upah dan Penerapan PHK karena Kesalahan Pasca Putusan MK

​​​​​​​Dengan adanya SEMA ini, upah proses hanya perlu diberikan selama 6 bulan dan tidak perlu diberikan hingga putusan berkekuatan hukum tetap.

Bacaan 2 Menit
Willy Farianto (kiri) dan Annisa Fathima Zahra (kanan). Foto: Istimewa
Willy Farianto (kiri) dan Annisa Fathima Zahra (kanan). Foto: Istimewa

Tulisan ini masih berkaitan dengan persoalan penerapan kesalahan berat pasca putusan MK dan juga persoalan upah proses pasca putusan MK yang pernah dipublikasikan tahun 2012 dan 2011 di hukumonline.

 

Kedua artikel tersebut menarik untuk diulas kembali pasca terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan (SEMA No. 3 Tahun 2015). Pada Butir B mengenai Rumusan Hukum Kamar Perdata angka 2 Perdata khusus disinggung mengenai kesalahan berat dan upah proses dalam Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

 

Terbitnya SEMA No. 3 Tahun 2015 merupakan suatu ‘jawaban’ atas persoalan jangka waktu upah proses pasca putusan MK No. No 37/PUU-IX/2011, tertanggal 19 September 2011, dan persoalan penerapan kesalahan berat pasca putusan MK No.012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004.

 

Berakhirnya Problem Penerapan Kesalahan Berat Pasca Putusan MK

Putusan MK No.012/PUU-I/2003 pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena dinilai telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/preassumption of innocence.

 

Putusan MK tersebut ditindaklanjuti oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 (SE No. 13 Tahun 2005) pada 7 Januari 2005. SE No. 13 Tahun 2005 menegaskan bahwa PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU Ketenagakerjaan. SE tersebut juga memunculkan istilah baru berupa “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas.  

 

Pasca putusan MK tersebut muncul banyak penafsiran dan pandangan mengenai penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat. Dalam tulisan sebelumnya, telah diidentifikasi beberapa penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat, sebagai berikut:

 

Pengusaha

Mediator

PHI

  1. Menerapkan Pasal 158 seperti sebelum adanya putusan MK, yakni melakukan PHK sepihak tanpa membayarkan pesangon dan penghargaan masa kerja.
  2. Hanya melaporkan tindak pidana yang dilakukan pekerja ke Polisi sedangkan proses ketenagakerjaanya di biarkan atau menunggu putusan pidana.
  3. Melaporkan pekerja terlebih dahulu ke polisi dan apabila di lakukan penahanan setelah 6 (enam) bulan tidak dapat menjalankan pekerjaan atau belum 6 (enam) bulan tetapi telah ada putusan bersalah dari pengadilan pidana maka pengusaha menerbitkan Surat Keputusan PHK sepihak sesuai Pasal 160 UU Ketenagakerjaan.
  4. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi akan tetapi langsung melakukan proses PHK sesuai UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (bipartite, mediasi, PHI).
  5. Tidak melaporkan kesalahan berat pekerja ke polisi asalkan pekerja bersedia mengundurkan diri atau diakhiri hubungan kerjanya tanpa pesangon dan penghargaan masa kerja.
  6. Membuat pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu dengan pekerja setelah itu melakukan proses pidana dengan melaporkan kesalahan berat pekerja.
  1. Menolak melakukan mediasi tanpa memberikan anjuran apabila belum ada putusan pidana.
  2. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran, apabila dalam proses mediasi pengusaha menyatakan bersedia memberikan kompensasi sebesar 1 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
  3. Melakukan mediasi dan menerbitkan anjuran untuk mempekerjakan pekerja pada posisi semula atau melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan kompensasi pesangon sebesar 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 ayat (3) & (4) UU Ketenagakerjaan.
  1. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
  2. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat membuktikanya dalam persidangan. Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi sebesar 1 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.
  3. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti. Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait