“Upaya Hukum” Baru Jelmaan Praperadilan Oleh: Krisna Harahap*)
Kolom

“Upaya Hukum” Baru Jelmaan Praperadilan Oleh: Krisna Harahap*)

Membiarkan pintu praperadilan terbuka lebar untuk para Tersangka membebaskan diri, sama artinya membiarkan bangsa dan Negara terus digerogoti oleh para pelaku kejahatan.

Bacaan 2 Menit
Krisna Harahap. Foto: Istimewa
Krisna Harahap. Foto: Istimewa

Sejak putusan pengadilan Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel lahir pada tanggal 16 Februari 2015, proses beracara di pengadilan terutama pada tahap pra, mengalami perubahan signifikan. Hakim yang tunggal, mengubah makna proses praperadilan dari sebatas  pemeriksaan awal untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan serta ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.

 

Putusan pengadilan Jakarta Selatan itu berdampak luas karena  hakim memperluas kewenangan praperadilan yang sengaja diberi kewenangan dengan tujuan agar hak-hak  seorang Tersangka tetap terjamin seperti yang diperintahkan oleh Konstitusi kita. Wewenang praperadilan  yang semula hanya menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan  dan penuntutan melebar, dapat memutus keabsahan penetapan tersangka.

 

Seperti kata pepatah “pucuk dicinta,ulam tiba”, kesempatan ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para Tersangka terutama yang terlibat tindak pidana korupsi.  Beberapa di antara mereka berhasil, urung menjadi penghuni “hotel” Sukamiskin.

 

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan No. 21/PUU-XII/2014, yang membangkitkan hasrat para Tersangka pidana korupsi untuk memanfaatkan pintu  praperadilan yang terbuka lebar karena  Mahkamah Konstitusi RI itu dengan gagahnya  membuat norma baru yang menentukan bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Tegasnya, menurut MK, pengujian sah tidaknya penetapan Tersangka termasuk ranah Praperadilan.

 

Alhasil, terjadi inkonsistensi putusan hakim. Praperadilan dimanfaatkan sebagai  “upaya hukum” baru bagi para Pemohon  untuk melepaskan diri dari kewajiban  mempertanggungjawabkan perbuatan antara lain  yang telah merugikan keuangan negara dan menafikan hak-hak asasi  masyarakat dan bangsa seperti korupsi dan extra ordinary crime lainnya. Di lain pihak, ada  Hakim yang konsisten, berpegang teguh pada kewenangan Praperadilan seperti digariskan oleh Pasal 77 KUHAP.

 

Putusan Praperadilan yang melampaui  ketentuan Pasal 77 KUHAP itu melahirkan ketidakpastian dengan munculnya  permasalahan baru  berupa ketidakjelasan apakah obyek pemeriksaan praperadilan termasuk pengujian keabsahan sah tidaknya penetapan tersangka dan keabsahan Penyelidik dan/atau Penyidik  serta siapa sebenarnya yang harus membuktikan apakah Pemohon atau Temohon Praperadilan  

 

Hukum untuk siapa?

Menurut ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHAP praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri. Semula, tidak ada yang “merisaukan”  ketentuan ini karena masalah-masalah yang ditangani oleh praperadilan dianggap sederhana sehingga dapat diperiksa dan diputus oleh hakim yang tidak lebih dari seorang, bahkan oleh seorang hakim yang jam terbangnya masih sedikit sekalipun.

Tags:

Berita Terkait