Kala Kebijakan E-Toll Dipersoalkan Lewat Uji UU Perlindungan Konsumen
Utama

Kala Kebijakan E-Toll Dipersoalkan Lewat Uji UU Perlindungan Konsumen

Majelis Panel mempertanyakan kerugian konstitusional pemohon. Pemohon justru mengklaim kerugian konstitusional sudah jelas.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Kala Kebijakan E-Toll Dipersoalkan Lewat Uji UU Perlindungan Konsumen
Hukumonline

Kebijakan penerapan transaksi nontunai di jalan tol (elektronik toll/E-Toll) yang diatur Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol lewat pengujian Pasal 4 huruf b UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Muhammad Hafidz yang merasa dirugikan sebagai pengguna jalan tol yang seharusnya punya hak untuk memilih barang atau jasa yang ditawarkan.        

 

Pemohon merasa kebijakan itu mengakibatkan hak konsumen diabaikan karena tidak diberikan pilihan alat pembayaran antara menggunakan uang tunai atau nontunai (E-Toll) saat menggunakan jasa jalan tol. Kebijakan yang mulai diberlakukan oleh PT Jasa Marga sejak 31 Oktober 2017 ini dinilai tidak memberi kemudahan, memperoleh kesempatan, dan manfaat yang sama bagi pemohon sebagai konsumen pengguna jalan tol.

 

“Kebijakan itu tanpa memberi hak pada konsumen (pengguna jalan tol) untuk memilih cara pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki atau digunakan,” kata kuasa hukum pemohon, Eep Ependi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Maria Farida Indrati di gedung MK Jakarta, Rabu (15/11/2017). Maria Farida didampungi I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul sebagai hakim anggota majelis panel.

 

Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen menyebutkan hak konsumen adalah: “hak untuk memilih barang dan atau/ jasa serta mendapatkan barang dan atau/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar (uang tunai) dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.”

 

Eep menilai tanpa adanya pilihan dalam menentukan cara alat pembayaran E-Toll ini, pelaku usaha bertindak sewenang-wenang menentukan sendiri cara pembayaraan atas barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara sepihak. Sebab, pemerintah mengharuskan konsumen menggunakan uang elektronik (e-money) ketika konsumen menggunakan jasa jalan tol.

 

“Dan menolak pembayaran langsung atau tunai dari konsumen dengan uang kertas atau logam sebagai alat pembayaran yang sah sebagaimana tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang,” lanjutnya.

 

“Hal ini merupakan tindakan monopoli pelaku usaha karena konsumen tidak memiliki alternatif lain untuk melakukan pembayaraan. Ini bentuk tindakan diskriminatif bagi konsumen,” bebernya. (Baca juga: Mengintip Persiapan Penerapan Kebijakan E-Toll)

Tags:

Berita Terkait