Penetapan tersangka Ketua DPR Setya Novanto untuk kedua kalinya dalam kasus dugaan korupsi KTP elektronik (e-KTP) seharusnya disikapi dengan elegan dan bijak. Apalagi, selaku orang nomor satu di lembaga perwakilan pusat mesti memberi contoh yang baik dan menghormati proses hukum yang tengah dijalani. Karena itu, alangkah baiknya apabila Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan sebagai Ketua DPR.
Harapan ini disampaikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menanggapi maraknya isu pemberitaan mangkirnya Setya Novanto dari pemeriksaan KPK baik kapasitas sebagai saksi maupun sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Direktur Riset dan Inovasi PSHK Rizki Argama menilai penetapan tersangka untuk kedua kalinya dalam kasus dugaan korupsi e-KTP mestinya dijadikan momentum Setya Novanto mundur dari jabatan Ketua DPR.
Ironisnya, saat pemanggilan sebagai saksi, Setya Novanto menyeret-nyeret nama kesekjenan DPR yang tidak berkepentingan dalam suratnya untuk dilibatkan dalam kasusnya. Intinya, dalam suratnya anggota DPR memiliki hak imunitas dan pemeriksaan proses hukum harus izin presiden.
“Gelagat itu sudah terlihat saat Setya Novanto dipanggil sebagai saksi dalam kasus e-KTP. Misalnya, Setya Novanto (dalam suratnya) sudah membuat polemik dengan mempersoalkan pemanggilan KPK,” ujarnya di Jakarta, Rabu (14/11/2017). Baca Juga: KPK Pertimbangkan Panggil Paksa Setya Novanto
Meski pimpinan DPR mengklaim status tersangka Setya Novanto tak mengganggu kinerja DPR. Bagi Argama justru sebaliknya. Menurutnya, tidak mundurnya Setya Novanto bukan tidak mungkin berpotensi mengganggu kinerja DPR. Dia khawatir bila Setya Novanto tetap menjabat ketua DPR akan menyeret para pimpinan dan anggota DPR lain ke pusaran kepentingan politiknya.
“Jadi, langkah yang tepat, Setya Novanto seharusnya mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR agar tidak mempengaruhi kinerja pimpinan dan DPR secara umum,” ujarnya.
Argama menambahkan Pasal 245 ayat (3) UU MD3 mensiratkan proses hukum bagi anggota DPR yang diduga terlibat tindak pidana khusus, dalam hal ini kasus korupsi, tidak boleh dihalangi. Bahkan, izin presiden pun tidak diperlukan khusus dalam kasus-kasus korupsi.