Ancaman Hukum Bagi Pelaku Persekusi Seksual Justru Berpotensi Menyerang Korban
Utama

Ancaman Hukum Bagi Pelaku Persekusi Seksual Justru Berpotensi Menyerang Korban

Jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi.

Oleh:
Kartini Laras Makmur
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Belum lama ini viral sebuah video yang memperlihatkan aksi persekusi warga Cikupa, Tangerang. Mereka menelanjangi ramai-ramai sepasang muda-mudi yang diduga telah melakukan tindakan mesum. Tak puas, bahkan warga mengarak pasangan itu dari rumah kediaman mereka sampai ke rumah Ketua RW.

 

Tindakan warga yang main hakim sendiri itu bukan tanpa ancaman hukum. Aksi menelanjangi dan mengarak pasangan yang telanjang itu dapat dijerat Pasal 282 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana kesusilaan di depan umum. Menurut pasal tersebut, orang yang melakukan tindak pidana menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan.

 

Tak hanya itu, Pasal 35 UU No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga dapat digunakan untuk menjerat mereka yang menjadikan orang lain objek atau model yang bermuatan pornografi. Tidak tanggung-tanggung, ancamannya pidana penjara bisa sampai 12 (dua belas) tahun. Belum lagi ancaman pidana denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp6 miliar.

 

Sayangnya, menurut Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, ancaman hukum bagi pelaku persekusi belum cukup menimbulkan efek jera. Justru, berpotensi menyerang korban. Menurut Meidina, hal ini karena hingga saat ini, belum ada ketentuan yang jelas mengenai tindak pidana kesusilaan.

 

“Peraturan perundang-undangan Indonesia sama sekali tidak mengatur adanya tindak pidana kesusilaan pada ranah privat dalam ruang tertutup, dan dilakukan dengan konsen atau persetujuan antar para pihak yang terlibat, sehingga apa yang dilakukan oleh warga Cikupa tersebut telah melanggar hak atas privasi pasangan yang bersangkutan, dan dilakukan tanpa hak dan wewenang apapun,” ujar Meidina, Kamis (16/11).

 

Maidina pun menegaskan, fakta persekusi tersebut kembali mengingatkan kita pentingnya mengatur norma kesusilaan secara hati-hati. Ia menggarisbawahi, jangan sampai pengaturan tindak pidana menjadi eksesif tidak hanya untuk mengatasi permasalahan kejahatan, namun digunakan sebagai pengontrol masalah moral masyarakat yang tidak relevan untuk dilindungi.

 

“Hukum pidana kan seharusnya bersifat ultimum remedium. Jadi jangan malah menimbulkan masalah baru,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait