Cara Hukum Menyidangkan Setya Novanto di MKD
Utama

Cara Hukum Menyidangkan Setya Novanto di MKD

Rencana rapat konsultasi antara MKD dengan fraksi-fraksi di DPR kerap tak terlaksana.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua DPR Setya Novanto
Ketua DPR Setya Novanto

Setya Novanto telah mengirimkan dua pucuk surat yang ditujukan ke DPP Partai Golkar dan DPR. Dalam dua surat itu, Setya Novanto menolak dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR. DPP Partai Golkar pun telah melakukan rapat pleno, Selasa (21/11) malam, membahas persoalan yang tengah mendera Setya Novanto.

 

Ketua Harian Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, hasil rapat DPP Golkar memutuskan untuk menunjuk Idrus Marham sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum Partai Golkar. Keputusan ini sejalan dengan isi surat Setya Novanto ke Golkar yang ditandatangani di atas materai Rp6000. Keputusan rapat juga menetapkan bahwa Setya Novanto tetap menjabat Ketua Umum Partai Golkar.

 

Idrus menjabat pelaksana tugas hingga putusan praperadilan yang dimohonkan Setya Novanto terbit di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bila Setya Novanto menang praperadilan, maka tugas pejabat pelaksana berakhir. Sebaliknya, bila upaya hukum praperadilan tersebut ditolak, maka Setya Novanto mesti mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar. Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR juga menunggu putusan praperadilan.

 

“Posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR menunggu putusan praperadilan,” ujar Nurdin Halid.

 

Dalam suratnya yang ditujukan ke pimpinan DPR, Setya Novanto meminta agar diberikan kesempatan membutkikan bahwa dirinya tak terlibat kasus korupsi proyek KTP elektronik. “Dan untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno, sidang MKD terhadap kemungkinan menonaktifkan saya sebagai Ketua DPR maupun selaku anggota dewan” tulis Setya Novanto dalam suratnya.

 

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti keputusan yang diambil Partai Golkar. Ia mengatakan, seharusnya Golkar menarik Setya Novanto dari posisi Ketua DPR. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk Partai Golkar mendukung antikorupsi di Indonesia. Namun kenyataannya yang terjadi tidak dilakukan Partai Golkar.

 

“Menurut saya seharusnya ditarik, karena ini akan menunjukkan apakah Golkar benar-benar konsisten dengan pernyataan yang sering dibuatnya sendiri bahwa mereka benar-benar antikorupsi,” kata pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini kepada hukumonline, Rabu (22/11).

 

Sedangkan mekanisme MKD, lanjut Bibip, setidaknya ada dua hal sebagai pintu masuk sidang. Pertama, karena adanya laporan dari masyarakat. Kedua, tanpa adanya laporan dari masyarakat. Sejumlah pihak disebut-sebut akan melaporkan Setya Novanto ke MKD. Di sisi lain, jika tak ada yang melapor, maka MKD tetap bisa melakukan sidang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait