Ke Mana Perginya Kehormatan?
Tajuk

Ke Mana Perginya Kehormatan?

Ketika suatu strategi pembelaan hukum dilakukan dengan melihat kepentingan terbaik dari seorang tersangka, maka tetap saja semua hal yang dilakukan dalam rangka strategi tersebut mengacu kepada hukum, kode etik dan kepantasan yang diharapkan dilakukan oleh profesi hukum yang terhormat.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Siapapun sadar bahwa ada kaitan erat antara politik praktis dan hukum. Politik praktis, apapun kepentingannya, dan siapapun juga pihaknya, bagaimanapun tetap harus berjalan dalam naungan atau jalur konstitusi. Pada saat politik praktis dijalankan dengan tetap berada di jalur konstitusi, maka jelas politik praktis tersebut tetap harus dilakukan dengan menghormati hubungan antar lembaga negara, menghormati hukum dan proses hukum, dan menghormati tindakan yang dijalankan oleh lembaga penegak hukum yang amanah.

 

Sebaliknya, ketika semua itu dihindari, dan bahkan cenderung dilecehkan oleh para pihak yang terlibat, sehingga proses hukum terancam dikoyak-koyak, maka saat itu politik praktis kembali menjadi panglima, hukum diinjak-injak, suatu praktik buruk yang selama beberapa dekade dalam sejarah Republik ini menghantui proses demokratisasi kita.

 

Pada sisi yang lain, manakala politik praktis menggunakan, atau tepatnya menyalah-gunakan hukum untuk tujuan-tujuan agar kejahatan tidak dapat dijangkau oleh hukum dan proses hukum, dampak kerusakannya akan setali-tiga-uang. Penggunaan institusi parlemen dan kelengkapannya untuk mengusik KPK, menggugat melalui pra-peradilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka oleh KPK, melaporkan pejabat KPK yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan UU KPK ke Kepolisian, itu semua merupakan tindakan hukum yang terkesan kasat mata sebagai sah dan wajar dilakukan. Tetapi kita tidak bodoh untuk memahami niat apa yang ada di balik tindakan itu sebenarnya. Pada dasarnya tindakan berbalut hukum itu adalah suatu proses obstruction of justice.

 

Apa yang sedang terjadi beberapa bulan terakhir ini tidak jauh dari perkiraan di atas. Pada saat KPK, lembaga penegak hukum anti korupsi yang dibentuk khusus, mencoba membongkar kasus korupsi besar e-KTP, reaksi melawan KPK segera serentak bermunculan. Kita seolah dibawa kembali ke mimpi buruk pada waktu KPK berada pada kondisi “under fire” di masa perseteruan yang kita kenal sebagai kasus “Cicak vs Buaya”. Banyak sekali energi pemerintah, lembaga negara, penegak hukum, bahkan masyarakat luas terseret dan terbuang ke dalam polemik yang sengaja diciptakan untuk mengacau penegakan hukum.

 

Ketika suatu maneuver politik dijalankan untuk kepentingan tertentu, maka yang membatasi maneuver tadi adalah ketentuan hukum, konvensi ketata-negaraan, best practices di bidang politik pemerintahan, etika politik, dan kewajaran dari tingkah laku politik yang diharapkan dari negarawan, atau setidaknya makhluk politik yang punya tanggung jawab dan moral politik yang baik.

 

Semua batasan tersebut bermuara kepada apa yang dianggap sebagai kepentingan terbaik dari negara pada saat itu, bukan kepentingan  diri sendiri atau golongan sendiri. Akal sehat kita mengatakan bahwa semua yang dilakukan dengan berlandaskan kepentingan negara yang terbaik saat itu sudah pasti tidak melanggar konstitusi, hukum yang berlaku dan etik serta moral bangsa dan negara.

 

Ketika suatu strategi pembelaan hukum dilakukan dengan melihat kepentingan terbaik dari seorang tersangka, maka tetap saja semua hal yang dilakukan dalam rangka strategi tersebut mengacu kepada hukum, kode etik dan kepantasan yang diharapkan dilakukan oleh profesi hukum yang terhormat. Dalam hal pihak tersangka adalah seorang yang mempunyai kedudukan begitu terhormat dalam struktur tata negara Republik ini, maka setiap tindakan dalam strategi pembelaan terhadapnya selayaknya tetap mengacu kepada kehormatan yang melekat pada kedudukannya tersebut.

Tags: