Kalah di Kasus Pembatasan Impor Hortikultura, Indonesia Terancam Sanksi
Berita

Kalah di Kasus Pembatasan Impor Hortikultura, Indonesia Terancam Sanksi

Pengadilan Banding WTO meminta Indonesia untuk bertindak konsisten dengan ketentuan GATT 1994.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kalah di Kasus Pembatasan Impor Hortikultura, Indonesia Terancam Sanksi
Hukumonline

Pada 9 November 2017, Pengadilan Banding WTO (Appelate Body World Trade Organization) memutuskan bahwa tindakan Indonesia atas kebijakan pembatasan impor hortikultura, produk hewan dan turunannya tidak konsisten dengan aturan GATT 1994 (The General Agreement on Tarrifs and Trade 1994). Kebijakan pembatasan impor Indonesia tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) GATT mengenai penghapusan terhadap pembatasan jumlah impor (General Elimination on Quatitative Restriction).

 

Dalam putusannya tersebut, Pengadilan Banding WTO meminta Indonesia untuk bertindak konsisten dengan ketentuan GATT 1994. Untuk diketahui, keputusan pengadilan Banding WTO ini menguatkan putusan Panel WTO sebelumnya yang diputuskan pada 22 Desember 2016.

 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan bahwa sesuai dengan aturan WTO, Indonesia wajib segera melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya dengan aturan GATT dalam jangka waktu yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

Rachmi menyebutkan, apabila hal ini tidak dilakukan maka sejumlah sanksi dapat dikenakan terhadap Indonesia. Sanksi tersebut berupa Indonesia harus memberikan kompensasi kepada New Zealand dan Amerika Serikat yang besarannya disepakati bersama. Jika, masih tidak dicapai kesepakatan mengenai bentuk atau besaran kompensasi, maka New Zealand dan Amerika Serikat dapat meminta kepada Dispute Settlement Body (DSB) WTO untuk mengajukan retaliasi atau tindakan balasan terhadap Indonesia.

 

Rachmi menilai kekalahan Indonesia dalam kasus ini akan membawa dampak besar terhadap kebijakan pangan Indonesia. “Penyesuaian kebijakan pangan Indonesia dengan aturan GATT 1994 akan bertentangan dengan kedaulatan pangan dan merampas kesejahteraan petani,” ujar Rachmi kepada hukumonline, Kamis (23/11), di Jakarta.

 

(Baca Juga: Australia Kenakan BMAD Kertas Fotokopi A4, Indonesia Layangkan Gugatan)

 

Sementara itu, Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, menyatakan bahwa petani di Indonesia sudah berada di garis kemiskinan. Salah satu indokatornya menurut Zainal adalah Nilai Tukar Petani (NTP) yang rendah.

 

“Bila masih menjadi anggota WTO, petani berpeluang akan semakin miskin, karena dipastikan hasil pertanian dalam negeri dibanjiri produk impor terkhusus dari New Zeland dan Amerika Serikat yang merupakan negara-negara pengaju gugatan ke WTO,” terang Zainal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait