Alasan Sulitnya Setnov Lengser dari Kursi Ketua DPR
Berita

Alasan Sulitnya Setnov Lengser dari Kursi Ketua DPR

Menang atau kalah praperadilan, Setnov disarankan mundur dari kursi DPR agar dapat mengembalikan nama baik lembaga.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Setya Novanto Bakal Diadili Lagi oleh MKD. Ilustrasi: BAS
Setya Novanto Bakal Diadili Lagi oleh MKD. Ilustrasi: BAS

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka meminta keterangan Setya Novanto (Setnov) terkait dugaan pelanggaran etik. Meski MKD sudah bergerak dengan memulai berbagai rapat membahas Setnov, pencopotan orang nomor satu di Partai Golkar itu belum dapat dilakukan. 

 

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan desakan mundur terhadap Setnov memang kian menguat dari kalangan luar parlemen sendiri. Namun, alasan sulitnya mencopot Setnov sebagai ketua DPR lantaran hasil rapat pleno Partai Golkar masih tetap mempertahankan Setnov sebagai Ketua Umum Golkar meski faktanya di internal partai ada yang mendorong mundur dari kursi ketua umum Golkar. Hal ini bebeda dengan pencopotan Ade Komarudin saat ketua DPR menggantikan Setnov yang tersandung kasus ‘papa minta saham’.

 

Fadli menerangkan pencopotan Ade Komarudin dari kursi Ketua DPR lantaran ada surat pergantian dari Fraksi Golkar. Sedangkan dalam kasus Setnov yang sudah berstatus tersangka dan tahanan KPK, Fraksi Golkar belum mengirimkan surat pergantian. Apalagi hasil pleno rapat pengurus Golkar memutuskan masih mempertahankan Setnov sebagai ketua umum Golkar dan tidak menarik posisi Setnov di DPR hingga adanya putusan praperadilan.

 

“Jadi kalau ada surat dari Fraksi Golkar untuk pergantian, serta merta itu berjalan. Ini kan persoalannya di internal Golkar. Tentu, kita harus menghargai proses di internal mereka juga,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (30/11/2017).

 

Anggota MKD Maman Imanulhaq mengatakan pihaknya sudah mulai melakukan proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik Setnov sejak 16 November lalu. Berdasarkan kesimpulan beberapa kali rapat di MKD menyimpulkan beberapa hal. Pertama, proses yang dilewati Setnov berbeda dengan kasus ‘papa minta saham’. Dalam kasus ‘papa minta saham’ 2015 silam, Setnov mengundurkan diri dari kursi Ketua DPR.

 

“Kalau kasus ‘papa minta saham’ itu adalah pelanggaran etik, maka MKD bisa langsung masuk,” ujarnya.

 

Sedangkan kasus korupsi e-KTP merupakan persoalan hukum. Sehingga, kata Maman, dalam tata cara MKD mesti menunggu proses hukum yang berjalan di KPK terlebih dahulu hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun Maman menilai adanya celah agar ada pihak yang mengusulkan soal pemberhentian Setnov.

 

Sebab merujuk Pasal 87 ayat (1) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) mengatur tata cara pemberhentian pimpinan DPR. Yakni, karena meninggal dunia, mengundurkan diri dan/atau diberhentikan. Poin diberhentikan itu menarik karena poin itu ketika dia melanggar sumpah jabatan dan melanggar kode etik setelah pemeriksaan MKD (bisa saja diberhentikan).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait