Arbitrase Asing: Dulu, Kini dan Nanti Oleh: A Haryono
Ceritanya Orang Hukum

Arbitrase Asing: Dulu, Kini dan Nanti Oleh: A Haryono

​​​​​​​Arbitrase masih menyimpan banyak masalah yang membuat Indonesia terkenal sebagai negara yang sulit untuk mengeksekusi putusan arbitrase, khususnya arbitrase asing.

Oleh:
Hukumpedia
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Ketika berbicara arbitrase di Indonesia, tulisan-tulisan yang saya temui banyak seputar kondisi arbitrase saat ini. Jelas kondisi arbitrase pada sekarang ini menurut saya dalam kondisi di tengah-tengah. Arbitrase tumbuh menjadi pilihan penyelesaian sengketa yang dapat diandalkan dan dipercaya. Namun di sisi lain arbitrase masih menyimpan banyak masalah yang membuat Indonesia terkenal sebagai negara yang sulit untuk mengeksekusi putusan arbitrase, khususnya arbitrase asing.

 

Dalam tulisan ini saya ingin membahas masa lalu arbitrase di Indonesia, kondisi terkini dan harapan masa depan arbitrase dengan fokus arbitrase asing. Cukup banyak rasa frustrasi yang timbul ketika berurusan dengan arbitrase secara keseluruhan. Untuk memahami permasalahan saat ini saya juga mencoba melihat sejarah arbitrase di Indonesia, setidak-tidaknya melihat era sebelum dan sesudah Konvensi New York.

 

Arbitrase Sebelum Konvensi New York

Sebelum ratifikasi New York Convention, pada dasarnya Indonesia tidak mengakui pelaksanaan suatu pengadilan asing. Putusan pengadilan asing dianggap tidak memiliki kekuatan eksekutorial (436 Rv). Menurut Prof. Z. Asikin Kusumah Amadja, S.H. ketentuan ini juga berlaku bagi putusan arbitrase asing.

 

Putusan Hoge Raad dalam Bontmantel Arrest, 14 November 1924 menyatakan bahwa putusan hakim asing tidak memiliki "gezag van gewijsde". Setiap pelaksanaan putusan tersebut harus diteliti kembali oleh hakim per kasus sebelum memutuskan memberikan kekuatan mengikat terhadap putusan tersebut.

 

Yahya Harahap, S.H. dalam buku Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi menjelaskan sejak tahun 1980, aliran Hoge Raad tersebut sudah mulai ditinggalkan. Lembaga arbitrase sudah mulai dipandang oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) sebagai lembaga absolut dan bukan fakultatif. Klausul arbitrase dianggap memiliki "public orde". Sehingga pada era 1980-an mulai muncul beberapa yurisprudensi yang mengakui kompetensi absolut arbitrase yang berpegang pada pacta sunt servanda (lihat Perkara Maskapai Perusahaan Asuransi Ramayana, Perkara PT Asuransi Royal Indrapura).

 

Demikian pula terdapat perubahan dalam hal pengakuan arbitrase asing di Indonesia. UU No. 5 Tahun 1968 yang merupakan tindak lanjut dari UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Melalui UU tersebut pemerintah menyetujui untuk bergabung pada "Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States". UU tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan dengan izin dari MARI (eksekuatur).

 

Berikut beberapa yurisprudensi penting terkait arbitrase di Indonesia:

 

Perkara Indonesia Cotton Trading Co. Ltd. V. Firma Rayun dan Perkara PT Metropolitan Timbers Ltd.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1/1959 Pem. Put. Wst antara Indonesia Cotton Trading Co. Ltd melawan Firma Rayun ("Perkara No. 1/1959") dan No. 225 K/SIP/1976 antara Dato Wong Heck Guong melawan PT Metropolitan Timbers Ltd. ("Perkara No. 225/1976") menunjukkan pandangan MARI waktu itu terkait kompetensi absolut arbitrase. Dahulu, merujuk pada Pasal 641 Rv, suatu putusan arbitrase dapat dibanding kecuali dinyatakan lain oleh Para Pihak, berikut kutipannya:

Tags:

Berita Terkait