Terkait HAM,  8 RUU dalam Prolegnas 2018 Mesti Dikawal
Berita

Terkait HAM,  8 RUU dalam Prolegnas 2018 Mesti Dikawal

Perlindungan hak asasi manusia mesti dipastikan penguatannya melalui sejumlah RUU di Prolegnas 2018 yang terkait dengan pemidanaan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Resmi sudah DPR menetapkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 melalui rapat paripurna. Sebanyak 50 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas. Beban kerja DPR di bidang legislasi kian berat. Terlebih, 2018 sudah masuk dalam tahun politik. Tantangan dalam merampungkan puluhan RUU tak saja menjadi beban DPR, namun pula pemerintah. Sejumlah catatan dan tantangan terhadap implementasi Prolegnas prioritas 2018 menjadi warning bagi DPR dan pemerintah.

 

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono mengatakan terdapat delapan RUU yang menjadi sorotan dalam daftar Prolegnas 2018. Sebab kedelapan RUU tersebut memiliki keterkaitan erat dengan reformasi di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana. Selain itu juga terkait dengan hak asasi warga negara Indonesia.

 

Setidaknya ICJR memiliki empat catatan yang mesti menjadi perhatian bagi Panja dan tm pemerintah dalam membahas RUU yang masuk daftar Prolegnas 2018. Pertama, pemerintah dan DPR mesti memastikan adanya perlindungan hak asasi manusia. Terutama dalam penggunaan instrumen pidana. “Serta pengaturan mengenai hukum acara pidana,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/12).

 

Kedua, pemerintah mesti maksimal dalam menutup berbagai ruang yang berpotensi terjadinya kriminalisasi berlebihan. Sebab sejumlah pasal-pasal ‘karet’ yang tidak layak dihidupkan justru kembali diatur dalam RKUHP. Sebut saja, pasal penghinaan pada penguasa, presiden atau institusi negara, perluasan pidana zina, pidana minuman beralkohol sampai dengan pidana bagi pengguna dan pecandu narkotika.

 

Tak hanya itu, DPR dan pemerintah dalam merumuskan aturan pemidanaan mesti mempertimbangkan kebijakan alternatif pidana, selain pemenjaraan. Misalnya sanksi denda, kerja sosial, hingga pidana bersyarat. Ketiga, pemerintah dan DPR harus menguatkan perlindungan terhadap korban melalui perumusan pasal di sejumlah RUU Prolegnas 2018. Khususnya di tindak pidana terorisme dan kekerasan seksual.

 

“Korban harus menjadi kata kunci dalam semua pembahasan RUU,” ujarnya.

 

Keempat, DPR dan pemerintah mesti membuka akses bagi masyarakat dalam mengawasi jalannya pembahasan kedelapan RUU yang terdapat dalam Prolegnas 2018. Walau pembahasan RKUHP yang dilakukan antara DPR dilakukan terbuka, tapi yang terjadi akses tertutup terhadap pembahasan yang dilakukan di luar DPR bersama pemerintah. Selain itu minimnya berkas rancangan pembahasan yang dilakukan kedua pihak itu tidak dibuka seluruhnya.

 

Baca:

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait