Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO
Berita

Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO

Karena dianggap tidak menguntungkan Indonesia. Undang-undang negara yang dibangun untuk melindungi masyarakatnya digugat untuk kepentingan korporasi negara maju.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: www.wto.org
Foto: www.wto.org

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (KMSKE) menilai sangat tidak relevan Pemerintah Indonesia masih menjadi anggota WTO (World Trade Organization) hingga hari ini. Mengingat keanggotaan Indonesia di WTO tidak mampu memberi keuntungan bagi masyarakat, pada umumnya dan lebih khusus lagi petani, nelayan dan buruh.

 

Koalisi menegaskan, jika pemerintah tidak mampu mendesak kepentingan masyarakat Indonesia, sebaiknya Pemerintah Indonesia menarik diri dari keanggotaannya di WTO. Hal itu disampaikan berkaitan dengan Konferensi Tingkat Menteri ke-11 WTO di Buenos Aires, Argentina, 10-15 Desember 2017.

 

Jika Indonesia masih ingin menjadi anggota WTO setidaknya Pemerintah harus bisa mendesakkan berbagai kepentingan masyarakat, seperti ketentuan mengenai subsidi perikanan, pangan dan lain sebagainya.

 

Agus Ruli Ardiyansyah dari Serikat Petani Indonesia mengatakan, sejak Indonesia meratifikasi berbagai kebijakan dalam WTO, kondisi perekonomian negara kita tidak semakin membaik, bahkan Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai negara agraris penghasil produk-produk pertanian bergeser menjadi negara pengimpor produk pertanian seperti kedelai, kentang, bawang putih, garam dan sebagainya.

 

“Belum lagi aturan WTO tentang pengurangan subsidi yang terus di dorong negara maju telah berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan perikanan akibat tingginya biaya produksi sehingga produk impor dapat mudah masuk pasar domestik dan menimbulkan berkurangnya penyerapan produk lokal,” ujar Ruli, Selasa (12/12), di Jakarta.

 

(Baca Juga: Kalah di Kasus Pembatasan Impor Hortikultura, Indonesia Terancam Sanksi)

 

Catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, pada tahun 1995 Indonesia mampu memenuhi konsumsi pasar domestic untuk produk bawang putih sebesar 95% dengan total produksi mencapai 279 ribu ton, namun saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi sebesar 10% dari kebutuhan nasional dan selebihnya dipenuhi dari impor negara Cina dan India.

 

Susan Herawati dari KIARA menyebutkan, subsidi yang menjadi fokus pembahasan dalam putaran Argentina dan sering dipermasalahkan oleh negara-negara WTO adalah terkait dengan subsidi sektor perikanan dan produk-produk perikanan. Pemberian subsidi BBM untuk nelayan dianggap dapat menghambat WTO dan negara-negara maju.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait