Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi
Berita

Independensi Diragukan, Mekanisme Pengisian Jabatan Hakim MK Perlu Dievaluasi

Mekanisme yang berlaku saat ini hanya merupakan hasil meniru dari negara lain.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertema “Pertaruhan Independensi Hakim Konstitusi”, di STHI Jentera, Rabu (13/12). Foto: DAN
Diskusi bertema “Pertaruhan Independensi Hakim Konstitusi”, di STHI Jentera, Rabu (13/12). Foto: DAN

Perhatian publik kembali tertuju kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini diakibatkan oleh mencuatnya informasi pertemuan antara Ketua MK Arief Hidayat dengan anggota DPR RI dari Komisi III berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan hakim MK. Arief sendiri telah mengakui adanya pertemuan antara dirinya dengan anggota Komisi III DPR RI dalam rangka menyusun agenda fit and proper test dirinya untuk mengisi jabatan hakim MK.

 

Menyoroti hal tersebut anggota Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa sudah saatnya untuk memperbaiki proses pengisian jabatan hakim MK. “Sudah tidak fair lagi hakim MK dipilih berdasarkan mekanisme yang suka-suka,” ujar pria yang kerap disapa Uceng, dalam diskusi bertema “Pertaruhan Independensi Hakim Konstitusi”, di STHI Jentera, Rabu (13/12).

 

Menurut Uceng, mekanisme pengisian jabatan hakim MK yang berdasarkan rekomendasi dari Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, dalam prosesnya seringkali tidak memenuhi asas transaparan, akuntabel, partisipatif, dan obyektif.

 

“Kalau lagi bagus di buatkan timsel, tapi kalau lagi tidak bagus bisa langsung penunjukan. Pertanyaanya adalah bagaimana sistem seleksi yang ditawarakan? Kok bisa suka-suka,” ujarnya.

 

Untuk itu, Uceng mengusulkan agar dalam Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim diatur mengenai proses seleksi hakim MK. Hal ini dimaksudkan agar adanya standar baku untuk menerjemahkan keempat asas tersebut. “Asas ini adalah perintah dari pasal 19 dan pasal 20 UU MK,” ujarnya.

 

Selanjutnya Uceng mengatakan bahwa, proses pemilihan ketua MK yang menurutnya sangat politis, harus dipikirkan ulang. “Negara ini sudah harus rethinking dalam kapasitas pemilihan ketua MK yang sangat politis. 3 dari DPR, 3 dari Presiden, 3 dari MA.”

 

(Baca Juga: Diduga Lobi DPR, Dewan Etik Segera Periksa Arief Hidayat)

 

Uceng beralasan bahwa mekanisme yang berlaku saat ini hanya merupakan hasil meniru dari negara lain. Ia menerangkan, dalam proses pemilihan hakim di negara-negara lain, kurang lebih terdapat 4 metode. Pertama, political appointing (pengangkatan politik). Kedua, partisan election. Ketiga, nonpartisan election. Keempat, marriage system.

Tags:

Berita Terkait