Zina dalam Konteks
Kolom

Zina dalam Konteks

Kriminalisasi belum tentu menyelesaikan masalah, dan tidak semua masalah harus diselesaikan melalui kriminalisasi.

Bacaan 2 Menit
Putri K. Amanda. Foto: Istimewa
Putri K. Amanda. Foto: Istimewa

Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhirnya memutus menolak peninjauan (judicial review-JR) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh pemohon yang tergabung dalam Tim Aliansi Untuk Indonesia Beradab. Menjadi kontroversi karena pasal-pasal yang diuji menyangkut kejahatan kesusilaan yang salah satunya mengenai Pasal Perzinahan (Pasal 284 KUHP). Pertimbangan utama MK menolak permohonan pemohon adalah karena MK tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tidak pidana baru, sementara kewenangan tersebut sejatinya ada pada pembentuk undang-undang.

 

Pasal 284 KUHP hanya dapat memidana (1) seseorang yang sudah menikah dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan suami/istrinya, dan (2) orang lain yang melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang sudah menikah. Dalam JR tersebut, Pemohon meminta untuk memperluas makna pasal 284 ini agar dapat diterapkan pada siapapun yang melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan, termasuk jika dilakukan oleh anak-anak.

 

Permohonan ini disampaikan berlandaskan keprihatinan pemohon atas “perilaku seks bebas yang terjadi di masyarakat, termasuk anak-anak, dengan segala akibat yang menyertainya, dan sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan keluarga dan perlindungan terhadap anak”. Niat pemohon boleh jadi mulia, tetapi tidak dapat menjadi dasar kebijakan pidana yang tepat apabila tidak disertai dengan pemahaman kontekstual dan data-data yang memadai.

 

Meskipun MK telah menolak permohonan JR ini, perdebatan mengenai perluasan pasal perzinahan dapat dipastikan tetap akan berlangsung terutama pada saat Rancangan KUHP kini tengah dibahas di DPR. Tulisan ini akan membahas apakah layak untuk memperjuangkan penerapan aturan tersebut di dalam hukum pidana di Indonesia tanpa mempertimbangkan konteks, khususnya dari sudut pandang perlindungan anak, budaya hukum yang ada, dan birokrasi, kebijakan, serta penegakannya. Perlu juga dilihat aspek-aspek sosial seperti dampaknya pada masyarakat miskin, aspek pendidikan, perlindungan sosial, identitas hukum, dan kesehatan masyarakat.

 

Mempertimbangkan Mudaharat dalam Konteks Perlindungan Anak

Pada saat pembahasan JR KUHP tengah berlangsung di MK, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) menyampaikan tanggapan tertulis (amicus curiae) kepada Mahkamah Konstitusi dengan harapan dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan para Hakim dalam memutus perkara ini. PUSKAPA sepenuhnya sepakat pada pernyataan Pemohon, bahwa melindungi masa depan anak dan keluarga adalah hal yang utama, tetapi dengan memperluas Pasal 284 KUHP seperti yang dimohonkan justru akan merugikan perlindungan anak dan keluarga.

 

Apabila zina diartikan sebagai hubungan seksual di luar perkawinan, dan definisi perkawinan masih merujuk pada Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), maka kriminalisasi zina juga dapat berlaku bagi pasangan yang menikah menurut kepercayaan yang belum diakui atau belum tercatat oleh negara. Merujuk pada temuan LSM Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) pada tahun 2012, dan pernyataan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2013, diprediksikan setidaknya terdapat 2 juta pasangan yang menikah namun tidak memiliki akta perkawinan/buku nikah setiap tahunnya.

 

Sebagian besar mereka yang tidak tercatat perkawinannya adalah masyarakat adat yang agama dan kepercayaanya belum diakui oleh negara, masyarakat dari kelompok termiskin, tinggal di daerah terpencil, atau memiliki disabilitas (RPJMN, 2015-2019; PUSKAPA, 2014). Kelompok inilah yang paling berpotensi untuk terjerat perluasan Pasal 284 KUHP karena tidak dapat membuktikan perkawinannya secara otentik melalui dokumen akta perkawinan. Dampaknya juga akan dirasakan oleh anak-anak yang lahir dari jutaan pasangan tersebut karena akan memperkuat stigma, terputusnya pengasuhan, dukungan finansial, dan pemenuhan hak dasar dari orang tua, serta semakin memperkuat siklus kemiskinan (Institute for Research and Poverty, 2010).

Tags:

Berita Terkait