BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability
Berita

BPKN: Revisi UU Perlindungan Konsumen Harus Adopsi Prinsip Strict Liability

​​​​​​​Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan dan hubungan kontrak melainkan didasarkan pada cacatnya produk dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Anna Maria (kanan) dan Husna (kiri). Foto: NNP
Anna Maria (kanan) dan Husna (kiri). Foto: NNP

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong agar revisi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengadopsi prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip strict liability diyakini akan lebih melindungi konsumen dari kerugian yang diakibatkan suatu produk.

 

Koordinator Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, Anna Maria TriAnggraini mengatakan, bahwa kajian BPKN menyimpulkan revisi UUPK harus segera mengintrodusir prinsip strict liability sebagai salah satu komitmen pemerintah mendukung perlindungan konsumen. Pasalnya, prinsip product liability dalam UUPK yang diimplementasikan dengan pembuktian terbalik seringkali dimanfaatkan produsen atau pelaku usaha sehingga tidak menguntungkan kedudukan konsumen.

 

“Pelaku usaha itu kalau ada yang complain, dia bisa berkelit dengan permintaan bukti. Saat ini pembuktian terbalik, artinya pelaku usaha masih bisa membela diri dengan pembuktian,” kata Tri kepada Hukumonline di kantor BPKN, Rabu (27/12).

 

Draf RUU Perlindungan Konsumen (RUUPK) terakhir yang dibuat pemerintah masih belum memperkenalkan prinsip strict liability. Dari penelitian yang dilakukan Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN, draf RUUPK masih menyentuh poin-poin yang bersifat teknis seperti perubahan definisi barang, pelaku usaha, konsumen, transaksi jual beli, maupun perjanjian baku. Selain itu, draf RUUPK, masih menurut Tri, masih sebatas mengubah susunan formal atau legal drafting dari ketentuan undang-undang sebelumnya.

 

Tri menjelaskan, poin-poin yang menjadi perhatian pemerintah sebagaimana draf RUUPK bukan berarti tidak penting untuk direvisi dan dikaji. Sebutlah misalnya, revisi mengenai perjanjian baku khususnya terkait larangan klausula eksonerasi atau pengalihan tanggung jawab tetap menjadi perhatian. Bahkan, BPKN mengusulkan agar kewenangan pengawasan penggunaan klausul eksonerasi dalam kontrak diberikan kepada BPKN karena memang memiliki fungsi pengawasan.

 

“Mengenai aspek perlindungannya tanggung jawab pelaku usaha, tidak diperhatikan,” kata Tri.

 

Kajian BPKN menyebutkan, tujuan utama prinsip tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsekuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen. Hal tersebut berangkat dari pemikian, bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjamin produk tersebut 100% aman untuk dikonsumsi. Dengan adanya prinsip strict liability, pelaku usaha harus bertanggung jawab atas kerugian konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.

 

Hukumonline.com

 

Tri menambahkan, dengan kata lain prinsip strict liability merupakan tanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault) dan hubungan kontrak melainkan didasarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Sehingga draf RUUPK setidak-tidaknya mencantumkan klausul yang berbunyi: ”Pelaku Usaha bertanggungjawab langsung terhadap produk yang dipasarkan.”

Tags:

Berita Terkait