Jalan Lurus Seorang Advokat Pengagum Bimasena
Pejuang Keadilan dari Surabaya

Jalan Lurus Seorang Advokat Pengagum Bimasena

Pernah dua kali mengalami krisis keuangan, advokat Trimoelja D Soerjadi punya prinsip dalam menjalankan profesi. Tak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rezeki.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Trimoelja D Soerjadi. Foto: NEE
Trimoelja D Soerjadi. Foto: NEE

Ada dua tokoh panutan Trimoelja D Soerjadi dalam menjalankan profesi advokat. Tokoh pertama adalah ayahnya sendiri, Mr. R. Soerjadi. Ayahnya adalah seorang priyayi lulusan Rechtsshogeschool Batavia (1931), yang kemudian menjabat sebagai hakim di Landraad Surabaya, Ketua Pengadilan Negeri Bondowoso, dan pernah pula menjadi Residen Besuki. Setelah pensiun dari hakim, Mr Soerjadi menjalankan profesi advokat.

 

Trimoelja banyak belajar prinsip-prinsip menjalankan profesi advokat secara langsung dari ayahnya. Ayahnya pula yang membuka jalan bagi anaknya yang dipanggil Waras saat kecil itu untuk dekat dengan dunia kepengacaraan. (Baca juga: Inilah Generasi Pertama Orang Indonesia Lulusan Sekolah Hukum)

 

Yang kedua adalah tokoh pewayangan, Bimasena. Sejak remaja, Trimoelja gemar menonton pertunjukan wayang, dan dari situlah muncul kekagumannya pada tokoh Bimasena. Sosok Bimasena –disebut juga Werkudara atau Bratasena—adalah anak kedua dari lima bersaudara Pandawa (Yudistira, Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Bimasena punya karakter khusus, selalu berdiri tegap di atas kedua kakinya jika berhadapan dengan penguasa. Ia tidak duduk bersila atau berjongkok. Jika berbicara suaranya juga berwibawa.

 

Bagi Trimoelja, sikap Bimasena itu melambangkan kesetaraan, siapapun sama dan sederajat asalkan ditopang sifat jujur dan adil. Jika berbicara, Bimasena tak berbasa basi, melainkan langsung to the point, apa adanya. Bimasena berusaha adil dan jujur kepada siapapun yang berjumpa dengannya. Kekagumannya pada Bimasena itu pula yang mengilhami pemberian nama anak pertamanya, Bima.

 

Darah advokat yang dimiliki Trimoelja memang mengalir dari ayahnya. Trimoelja sudah magang di kantor bapaknya, sembari menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Banyak petuah atau nasihat yang diberikan Mr Soerjadi dan dipedomani sang anak yang dipanggil Waras itu hingga kini. Salah satunya prinsip menolak melakukan suap kepada hakim.

 

Trimoelja mengenang pesan khusus yang disampaikan ayahnya satu tahun sebelum ayahnya meninggal. “Ras, kalau kamu tidak bisa hidup dari profesi ini, carilah pekerjaan lain. Jangan tetap menjalankan profesi ini. Tetapi karena harus tetap hidup, lalu mencemari profesi dengan menyuap hakim, atau sebaliknya menerima suap. Jangan membuat bapak malu karena kamu melakukan hal tercela sebagai pengacara.”

 

Ayahnya melanjutkan: “Bila ada advokat lain yang mau melakukan itu, itu urusan mereka. Tetapi kamu sebagai anakku, jangan lakukan itu ya. Bapak tidak ikhlas kamu menjadi pengacara seperti itu, hanya demi mempertahankan hidup dan sesuap nasi. Kalau itu tujuannya, lebih baik cari pekerjaan lain”. Sang ayah meninggal 12 Oktober 1980.

Tags:

Berita Terkait