Surat Pembatalan HGB Pulau Reklamasi, Begini Pandangan Pakar Hukum
Utama

Surat Pembatalan HGB Pulau Reklamasi, Begini Pandangan Pakar Hukum

Seyogyanya surat gubernur DKI tersebut terlebih dahulu ditujukan kepada pejabat yang menerbitkan atau menandatangani HGB atas ketiga pulau tersebut. Kemudian ditindaklanjuti dengan bersurat ke atasan pejabat tersebut yakni Menteri ATR. Ini jika dilihat menggunakan pendekatan contrarius actus.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Demo tolak reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES
Demo tolak reklamasi Teluk Jakarta. Foto: RES

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan berpendapat, surat Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan yang ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tidak mempunyai daya ikat lantaran pejabat tata usaha negara yang dituju dalam surat tersebut memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dari jabatan gubernur DKI Jakarta.

 

“Dalam hukum administrasi negara ada pendekatan Contrarius Actus. Artinya siapa yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara, maka dia yang punya kewenangan untuk membatalkan sendiri,” kata Jimmy kepada Hukumonline, Rabu (10/1/2018). Baca Juga: Mau Hentikan Reklamasi, Begini Opsi Hukum Versi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta

 

Surat Gubernur DKI Jakarta, lanjut Jimmy, seharusnya ditujukan kepada pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), lalu ditembuskan ke Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara atau Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta. Namun, adanya HGB, mekanisme pembatalannya mesti sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

 

Pasal 76 UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan penyelesaian masalah apabila ada pihak yang dirugikan ditempuh dengan mengajukan keberatan terlebih dahulu kepada pejabat yang menetapkan keputusan. Kemudian, apabila tidak menerima penyelesaian keberatan dapat diajukan kepada atasan pejabat tersebut dalam hal ini Menteri Agraria/Kepala BPN. Jika tidak terima juga dengan penyelesaian banding, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan (PTUN). 

 

Hanya saja, UU Administrasi Pemerintahan sebatas mengatur keberatan warga masyarakat yang dirugikan, bukan oleh pemerintah daerah terkait. Kecuali, dalam hal penundaan pelaksanaan keputusan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan hidup, dan/atau konflik sosial seperti diatur Pasal 65 UU Nomor 30 Tahun 2014.

 

“Dengan begitu, legal standing pemerintah daerah terkait, ada pada penundaan pelaksanaan keputusan HGB (bukan pembatalan HGB). Sedangkan, pihak yang mengajukan keberatan, banding dan gugatan ke Pengadilan mengenai Keputusan Tata Usaha Negara hanya warga masyarakat yang dirugikan,” kata Jimmy menjelaskan.

 

Meski, gubernur DKI tidak dapat menjadi pihak yang berhak mengajukan keberatan terhadap Keputusan HGB, namun komunikasi kepada badan pertanahan terkait dapat dilakukan dalam rangka menyuarakan aspirasi masyarakat perihal tuntutan pembatalan keputusan HGB itu.

Tags:

Berita Terkait