Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Kolom Hukum J. Satrio

Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Perjanjian yang sah bisa ditarik kembali atas sepakat kedua belah pihak.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
J. Satrio di perpustakaan pribadinya. Foto: FEB
J. Satrio di perpustakaan pribadinya. Foto: FEB

Makalah ini hendak mencari jawaban atas pertanyaan: apakah perjanjian yang telah disepakati secara sah pasti bisa dilaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan?

 

Pertanyaan di atas berkaitan dengan Pasal 1338 ayat (1) B.W., yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

 

Kata-kata “berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” mau mengatakan, bahwa perjanjian seperti itu mengikat para pihak dan karenanya para pihak harus memenuhi janji-janjinya. Arti seperti itu diungkapkan dengan mengatakan: perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang menutupnya.[1]

 

Seperti undang-undang mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakat pada umumnya, demikian juga perjanjian menetapkan hak dan kewajiban di antara para pihak dalam perjanjian. Kata-kata “yang membuatnya” tertuju kepada para pihak dalam perjanjian. Kalau disebut mengikat “sebagai undang-undang”, maksudnya adalah: sebagaimana undang-undang mengikat anggauta masyarakat, demikian juga perjanjian mengikat, hanya bedanya, undang-undang mengatur anggota masyarakat pada umumnya, sedang perjanjian hanya mengatur hak dan kewajiban antara para pihak dalam perjanjian (baca Pasal 1340 B.W.).

 

Kata-kata “yang dibuat secara sah” mengingatkan kita pada Pasal 1320 B.W., yang dalam doktrin ditafsirkan sebagai suatu ketentuan yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian. Berdasarkan pasal itu, suatu perjanjian sah, kalau memenuhi syarat yang disebutkan di sana.

 

Syarat yang pertama adalah: “sepakat mereka yang mengikatkan diri”. Kalau syarat ini kita hubungkan dengan Pasal 1338 ayat (1) B.W., maka bisa kita katakan, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang telah menyepakatinya. Hal itu berarti, para pihak dalam perjanjian, yang telah menyepakati janji-janji di dalam perjanjian, terikat untuk memenuhinya. Dari ketentuan ini bisa disimpulkan asas, bahwa: janji itu mengikat.

 

Segi ini dari perjanjian -- menurut B.W. -- akan nampak lebih jelas, kalau kita pakai hukum adat sebagai latar belakangnya. Dalam hukum adat berlaku asas, bahwa perjanjian baru lahir, kalau ada penyerahan timbal balik pada saat yang sama antara prestasi dari yang satu ke yang lain (gelijktijdige overgang) atau ada perbuatan kontan (contante handeling).[2]

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait