Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terus dilakukan antara Panja DPR dengan pemerintah. Sebab, pembahasan RKUHP telah ditargetkan rampung dan disahkan pada 2018 ini. Sayangnya, meski pembahasan sudah masuk finalisasi buku II, namun dinilai pemerhati RKUHP masih menyisakan sejumlah persoalan, terutama asas legalitas dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).
Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP Erasmus Napitupulu berpandangan dalam buku I RKUHP memang masih menyisakan pasal yang bermasalah, khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum adat (living law). Pengaturan ketentuan tersebut diatur dalam draf RKUHP Pasal 2 ayat (1), dan (2). Ketentuan living law tersebut menjadi pengecualian/penyimpangan dari asas legalitas.
Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP terus mendorong DPR untuk meminta pemerintah menjelaskan pengaturan living law secara gamblang. Pemerintah pun belum memberi penjelasan terkait posisinya terkait pasal ini, begitu pula dengan Panja RKUHP di DPR. “Sampai saat ini belum jelas bagaimana posisi pemerintah dan DPR terkait pasal ini,” ujarnya, Rabu (17/1) di Jakarta.
Pria yang biasa disapa Eras itu melanjutkan permintaan Panja RKUHP ke pihak pemerintah yang dimaksud terkait data kompilasi hukum adat mana saja yang dapat dikategorikan sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasalnya, Eras khawatir, penentuan perbuatan masuk atau tidaknya hukum yang hidup di masyarakat berada di tangan aparat penegak hukum (subjektif) yang berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang.
Pasal 1 (Naskah hasil pembahasan Panja RKUHP per 24 Februari 2017)
Pasal 2
|
Eras yang kini menjabat Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) ini memiliki sejumlah catatan. Pertama, penolakan adanya perluasan asas legalitas dengan memasukan penerapan living law dalam RKUHP. Sebab, dia beralasan tindak pidana yang sudah diatur dalam RKUHP sudah mencakup tindak pidana dalam hukum adat.
Baca juga: