Jelimet RKUHP, dari Penentuan Ancaman Pidana hingga Kejahatan HAM Berat
Berita

Jelimet RKUHP, dari Penentuan Ancaman Pidana hingga Kejahatan HAM Berat

Beragam masukan pun dilayangkan, sampai adanya permintaan penundaan pengesahan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi RKUHP
Ilustrasi RKUHP

Sejumlah isu dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap menjadi perhatian banyak kalangan. Mulai dari pasal keasusilaan hingga hukum yang hidup di masyarakat. Hingga pada akhirnya terkait pola penentuan ancaman besaran hukuman pidana.

 

Direktur Pelaksana Institute Criminal fo Justice Reform (ICJR),  Erasmus Napitupulu, mengaku terus melakukan pemantauan setiap pembahasan RKUHP di DPR maupun di luar parlemen. Dari sejumlah isu yang pending, pola dan penentuan ancaman pidana menjadi bagin penting dalam pembahasan RKUHP. Sejumlah catatan pun diutarakan ICJR beserta Aliansi Nasional Reformasi KUHP.

 

“Khususnya pola dan penentuan besaran ancaman pidana, khusus pidana penjara dalam RKUHP,” ujarnya di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

Menurut Eras, RKUHP tidak memiliki metode dalam merumuskan ancaman hukuman terhadap seluruh perbuatan pidana. Sebab dalam naskah akademik RKUHP tidak menyebutkan dengan tegas mekanisme merumuskan dan penentuan ancaman pidana terhadap semua tindak pidana di RKUHP.

 

Metode Delphy yang belakangan digunakan pemerintah dan Panja memang dikenal sebagai salah satu metode penelitian. Metode tersebut menjadi jalan dalam mencari titik temu terhadap berbagai pandangan yang kemudian disilangkan menjadi kesimpulan. Metode Delphy diperkenalkan pemerintah untuk mencari besaran hukuman.

 

“Itu sebabnya metode ini merupakan metode yang digunakan Jaksa Penuntut Umum dalam merumuskan tuntutan pidana, yang tentu saja tidak dapat dipersamakan dengan metode penentuan pola dan besaran ancaman pidana dalam konteks legislasi,” ujarnya.

 

Eras dan yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP itu menilai metode Delphy hanya mendukung argimen dalam penentuan besaran ancaman pidana. Namun, pola tersebut dinilai amatlah eksesif, bahkan berpotensi menimbulkan overkriminalisasi. Pratiknya, pemerintah tak pernah melakukan evaluasi terhadap penjatuhan pidana melalui tuntutan yang dilakukan penuntut umum di persidangan pengadilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait