Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Reformasi Peradilan:

Peradilan yang Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Dalam beberapa tahun terakhir, wacana yang menghubungkan kemudahan berusaha dengan waktu penyelesaian sengketa di pengadilan semakin intens dibahas.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Suasana persidangan kasus tipikor. Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan perlu dijalankan. Foto: MYS
Suasana persidangan kasus tipikor. Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan perlu dijalankan. Foto: MYS

Kemudahan berusaha (ease of doing business) bukan hanya dipengaruhi regulasi dan perizinan, tetapi juga waktu tunggu yang dihabiskan dalam menyelesaian sengketa bisnis di pengadilan. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di atas peradilan umum, Mahkamah Agug ikut menaruh perhatian pada aspek kemudahan berbisnis. Perbaikan di pengadilan niaga, salah satu indikator yang dipakai, terus dilakukan.

 

Tetapi mengubah kebiasaan ‘jam karet’ di pengadilan tak semudah telapak tangan. Jumlah perkara yang banyak, jadwal sidang molor, salah satu pihak belum hadir, atau tiba-tiba hakim sakit hanya beberapa penyebab gangguan terhadap proses pengadilan. Akibatnya, jadwal sidang yang tertera di surat panggilan umumnya tak terpenuhi alias tak sesuai. Manajemen waktu masih jadi persoalan pelik dalam proses peradilan.

 

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Edward O.S Hiariej mengungkapkan pengalamannya berjam-jam menunggu persidangan ketika diminta sebagai saksi ahli dalam suatu perkara. Di surat undangan tertulis waktu sidang pukul Sembilan pagi. Nyatanya, ia baru memberikan keterangan sebagai ahli beranjak tengah malam. Cerita itu ia ungkapkan dalam pelaksanaan Indonesian Judicial Reform Forum di (IJRF) Jakarta, medio Januari lalu.

 

(Baca juga: Soal Pengiriman Salinan Putusan Pengadilan, LeIP Gelar Survei)

 

Prof. Eddy –begitu ia biasa disapa—bukan satu-satunya orang yang harus menunggu berjam-jam di pengadilan. Banyak pihak yang berperkara harus kecewa karena sidang terpaksa ditunda padahal sudah datang dari jauh dan sejak pagi tiba di pengadilan. Mereka menghabiskan biaya yang tidak sedikit dan melalui proses yang berbelit-belit.

 

Kondisi ini sebenarnya tak sejalan dengan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman: peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Asas ini tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sederhana mengandung arti pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif. Asas cepat, asas yang bersifat universal, berkaitan dengan waktu penyelesaian yang tidak berlarut-larut. Asas cepat ini terkenal dengan adagium justice delayed justice denied, bermaknaproses peradilan yang lambat tidak akan memberi keadilan kepada para pihak.Asas biaya ringan mengandung arti biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat.

 

Jika ditelaah dalam sepuluh tahun terakhir, sudah banyak kebijakan yang diterbitkan dan dijalankan Mahkamah Agung untuk mendorong implementasi ketiga asas tersebut. Untuk menjalankan peradilan sederhana yang efektif dan efisien misalnya diperkenalkan kebijakan pendukung berupa penggunaan teknologi informasi. Kini, para pihak berperkara bahkan masyarakat merasa bisa melakukan penelusuran perkara melalui SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara). Jadwal sidang juga bisa dketahui, meskipun belum semua pengadilan melakukan pemutakhiran informasi.

 

Namun kebijakan terakhir yang banyak mendapat perhatian adalah memperkenalkan model gugatan sederhana atau lazim disebut small claim court (SCC). Model gugatan ini dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Salah satu rasio hukum keluarnya kebijakan ini adalah perkembangan hubungan hukum di bidang ekonomi dan keperdataan lainnya di masyarakat membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat dan biaya ringan, terutama di dalam hubungan hukum yang bersifat sederhana. Setiap perkara yang nilai gugatan materiinya maksimal 200 juta diselesaikan dengan tata cara dan pembuktian sederhana. Cirinya antara lain bisa diputuskan hakim tunggal, dan para pihak tak perlu dibantu advokat. Perkaranya pun sudah harus diselesaikan paling lama 25 hari sejak hari sidang pertama.

Tags:

Berita Terkait