Permendagri Wajib Izin Riset Dinilai Potensi Langgar Konstitusi
Utama

Permendagri Wajib Izin Riset Dinilai Potensi Langgar Konstitusi

Permendagri ini hanya memperbarui aturan yang lama yang tujuannya lebih mempermudah proses perolehan SKP, tidak seperti Permendagri sebelumnya yang berbelit-belit.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES
Mendagri Tjahjo Kumolo. Foto: RES

Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian yang diteken Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 11 Januari 2018 dan diundangkan 17 Januari 2018 ini menuai kritik dari sejumlah lembaga yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian. Beleid ini menggantikan aturan sebelumnya yakni Permendagri No. 7 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permendagri No. 64 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian.

 

Sebab, siapapun baik perorangan warga negara Indonesia maupun yang tergabung dalam lembaga pendidikan, badan usaha, ormas yang hendak melakukan penelitian (riset) wajib mengantongi Surat Keterangan Penelitian (SKP) dari Kemendagri atau kepala daerah, kecuali penelitian dalam rangka tugas akhir pendidikan atau dilakukan instansi pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN dan atau APBD.    

 

Seperti dijelaskan Pasal 2 Permendagri itu, tujuan diterbitkannya SKP ini selain tertib administrasi juga dalam rangka “kewaspadaan dampak negatif” yang timbul dari proses penelitian. Namun, dampak negatif ini tidak dijelaskan dalam Permendagri ini. Di Pasal 11, apakah riset tersebut berdampak negatif atau tidak berada di tangan Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum atau Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kemendagri.

 

Jika riset dinilai "menimbulkan dampak negatif", tim penilai (verifikasi) akan memberi rekomendasi penolakan penerbitan SKP yang diajukan pemohon tanpa proses keberatan. Di Pasal 15, dijelaskan selain menimbulkan dampak negatif, SKP bisa tidak diterbitkan karena peneliti tidak mematuhi norma atau adat istiadat, dan kegiatannya meresahkan masyarakat, disintegrasi bangsa atau keutuhan NKRI.

 

Padahal, dalam Permendagri No. 7 Tahun 2014, penolakan pengajuan rekomendasi penelitian hanya lebih bersifat administratif, misalnya tidak lengkap persyaratan dan tidak mengisi proposal penelitian dengan lengkap. Belum lagi, dalam Pasal 6, proses/prosedur pengajuan permohonan SKP dinilai cukup panjang. Misalnya, jika penelitian lingkup nasional atau lebih dari dua provinsi, izin di tangan Mendagri melalui Unit Layanan Administrasi.

 

Jika lingkup riset provinsi, yang berwenang menerbitkan SKP adalah gubernur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) provinsi. Sedangkan, jika lingkup riset kabupaten/kota, izin berada di Bupati/Wali Kota melalui Dinas PTSP. Bahkan, pengajuan permohonan SKP bagi peneliti perseorangan harus berurusan dengan lurah/kepala desa setempat.

 

Diminta tanggapan Peneliti Senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar menilai Permendagri terkait wajib pengajuan SKP ini berpotensi melanggar konstitusi terkait hak warga negara mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; memperoleh manfaat dari ilmu pengetahunan; mengembangkan diri dan memperoleh informasi.

Tags:

Berita Terkait